01 June, 2009

Pro-Kontra Fatwa Pengharaman Rokok Oleh MUI

PRO-KONTRA PENGHARAMAN ROKOK OLEH MUI
Beberapa waktu lalu hampir sebagian besar masyarakat Indonesia tercengang ketika mendengarkan kabar tentang penetapaan fatwa dikeluarkan oleh Majlis Ulama Indonesia (MUI). Melalui berbagai media informasi, baik media elektronik maupun media cetak, berita sekitar fatwa tersebut hampir setiap hari mengisi topik utama. Topik-topik tersebut bukanlah membahas suatu yang asing dikalangan masyarakat Indonesia. Baik anak-anak maupun remaja, laki-laki ataupun perempuan, yang tua apalagi yang muda, public pigure ataupun yang biasa-biasa saja, mereka –bisa dikatakan- hampir semuanya mengerti akan barang yang menjadi topik hangat tersebut. Bahasan topik tersebut tak lain dan tak bukan adalah pembahasan tentang penetapan hukum haramnya rokok yang konon barang tersebut selama ini adalah barang yang telah menjadi suatu tradisi sehari-hari dalam pemakaian dan pengkonsumsiannya.

Tidak mengherankan kemudian kalau fatwa pengharaman rokok tersebut membuat banyak kalangan tercengang. Bahkan pro-kontra pun mulai bermunculan di mana-mana. Sudahlah pasti kalau mereka yang pro adalah mereka yang selama ini tidak merokok atau bahkan benci dengan rokok, dan mereka yang kontra adalah mereka yang selama ini kemana-mana bersahabat akrab dengan rokok.
Namun, sebagai manusia yang telah dibekali pikiran oleh Yang Maha Esa, sudah sepantasnya kita tidak langsung dengan spontan ikut-ikutan ke dalam kedua kubu tersebut (Pro dan Kontra). Ada baiknya sebelum itu kita menganalisa kenapa bisa timbul penetapan fatwa haram itu dan kenapa kemudian mengundang munculnya pro-kontra di tengah masyarakat?
Sebenarnya, sejak awal abad XI Hijriyah atau sekitar empat ratus tahun yang lalu, rokok dikenal dan membudaya di berbagai belahan dunia Islam. Sejak itulah sampai sekarang hukum rokok gencar dibahas oleh para ulama di berbagai negeri, baik secara kolektif maupun pribadi. Perbedaan pendapat di antara mereka mengenai hukum rokok tidak dapat dihindari dan ujung-ujungna pasti berakhir dengan kontroversi. Itulah keragaman pendapat yang merupakan fatwa-fatwa yang selama ini telah banyak terbukukan. Sebagian di antara mereka menfatwakan mubah/boleh, sebagian berfatwa makruh, sedangkan sebagian yang lainnya lagi lebih cenderung menfatwakan haram.
Seandainya muncul fatwa, bahwa korupsi itu hukumnya haram berat karena termasuk tindak sariqah (pencurian), maka semua orang akan sependapat termasuk si koruptor itu sendiri. Akan tetapi persoalannya akan lain ketika merokok itu dihukumi haram. Akan muncul pro dari pihak tertentu dan muncul pula kontra serta penolakan dari pihak-pihak yang tidak sepaham. Dalam tinjauan fiqh terdapat beberapa kemungkinan pendapat dengan berbagai argumen yang bertolak belakang.
Pada dasarnya terdapat nash bersifat umum yang menjadi patokan hukum, yakni larangan melakukan segala sesuatu yang dapat membawa kerusakan, kemudaratan atau kemufsadatan sebagaimana termaktub di dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah sebagai berikut:


1. Al-Qur'an :
“Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (Al-Baqarah: 195)


2. As-Sunnah:
Dari Ibnu 'Abbas ra, ia berkata ; Rasulullah SAW. bersabda: Tidak boleh berbuat kemudaratan (pada diri sendiri), dan tidak boleh berbuat kemudaratan (pada diri orang lain). (HR. Ibnu Majah, No.2331).

Bertolak dari dua nash di atas, ulama' sepakat mengenai segala sesuatu yang membawa mudarat adalah haram. Akan tetapi yang menjadi persoalan adalah apakah merokok itu membawa mudarat ataukah tidak, dan terdapat pula manfaat ataukah tidak. Dalam hal ini tercetus persepsi yang berbeda dalam meneliti dan mencermati substansi rokok dari aspek kemaslahatan dan kemufsadatan. Perbedaan persepsi ini merupakan babak baru munculnya beberapa pendapat mengenai hukum merokok dengan berbagai argumennya. Seandainya semua sepakat, bahwa merokok tidak membawa mudarat atau membawa mudarat tetapi relatif kecil, maka semua akan sepakat dengan hukum mubah atau makruh. Demikian pula seandainya semuanya sepakat, bahwa merokok membawa mudarat besar, maka akan sepakat pula dengan hukum haram.
Beberapa pendapat itu serta argumennya dapat diklasifikasikan menjadi tiga macam hukum yaitu:
Pertama : hukum merokok adalah mubah atau boleh karena rokok dipandang tidak membawa mudarat. Secara tegas dapat dinyatakan, bahwa hakikat rokok bukanlah benda yang memabukkan.
Kedua : hukum merokok adalah makruh karena rokok membawa mudarat relatif kecil yang tidak signifikan untuk dijadikan dasar hukum haram.
Ketiga : hukum merokok adalah haram karena rokok secara mutlak dipandang membawa banyak mudarat. Berdasarkan informasi mengenai hasil penelitian medis, bahwa rokok dapat menyebabkan berbagai macam penyakit dalam, seperti kanker, paru-paru, jantung dan lainnya setelah sekian lama membiasakannya.

Tiga pendapat di atas dapat berlaku secara general, dalam arti mubah, makruh dan haram itu bagi siapa pun orangnya. Namun bisa jadi tiga macam hukum tersebut berlaku secara personal, dengan pengertian setiap person akan terkena hukum yang berbeda sesuai dengan apa yang diakibatkannya, baik terkait kondisi personnya atau kwantitas yang dikonsumsinya. Tiga tingkatan hukum merokok tersebut, baik bersifat general maupun personal terangkum dalam paparan panjang 'Abdur Rahman ibn Muhammad ibn Husain ibn 'Umar Ba'alawiy di dalam Bughyatul Mustarsyidin (hal.260) yang sepotong teksnya sebagai berikut:
“Tidak ada hadits mengenai tembakau dan tidak ada atsar (ucapan dan tindakan) dari seorang pun di antara para shahabat Nabi SAW..Jelasnya, jika terdapat unsur-unsur yang membawa mudarat bagi seseorang pada akal atau badannya, maka hukumnya adalah haram sebagaimana madu itu haram bagi orang yang sedang sakit demam, dan lumpur itu haram bila membawa mudarat bagi seseorang. Namun kadangkala terdapat unsur-unsur yang mubah tetapi berubah menjadi sunnah sebagaimana bila sesuatu yang mubah itu dimaksudkan untuk pengobatan berdasarkan keterangan terpercaya atau pengalaman dirinya bahwa sesuatu itu dapat menjadi obat untuk penyakit yang diderita sebagaimana berobat dengan benda najis selain khamr. Sekiranya terbebas dari unsur-unsur haram dan mubah, maka hukumnya makruh karena bila terdapat unsur-unsur yang bertolak belakang dengan unsur-unsur haram itu dapat difahami makruh hukumnya.”

Senada dengan sepotong paparan di atas, apa yang telah diuraikan oleh Mahmud Syaltut di dalam Al-Fatawa (hal.383-384) dengan sepenggal teks sebagai berikut:
“Tentang tembakau … sebagian ulama menghukumi halal karena memandang bahwasanya tembakau tidaklah memabukkan, dan hakikatnya bukanlah benda yang memabukkan, disamping itu juga tidak membawa mudarat bagi setiap orang yang mengkonsumsi. ...Pada dasarnya semisal tembakau adalah halal, tetapi bisa jadi haram bagi orang yang memungkinkan terkena mudarat dan dampak negatifnya. Sedangkan sebagian ulama' lainnya menghukumi haram atau makruh karena memandang tembakau dapat mengurangi kesehatan, nafsu makan, dan menyebabkan organ-organ penting terjadi infeksi serta kurang stabil.”
Demikian pula apa yang telah dijelaskan oleh Prof Dr Wahbah Az-Zuhailiy di dalam Al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuh (Cet. III, Jilid 6, hal.166-167) dengan sepotong teks, sebagai berikut:
“Masalah kopi dan rokok; penyusun kitab Al-'Ubab dari madzhab Asy-Syafi'I ditanya mengenai kopi, lalu ia menjawab: (Kopi itu sarana) hukum, setiap sarana itu sesuai dengan tujuannnya. Jika sarana itu dimaksudkan untuk ibadah maka menjadi ibadah, untuk yang mubah maka menjadi mubah, untuk yang makruh maka menjadi makruh, atau haram maka menjadi haram. Hal ini dikuatkan oleh sebagian ulama' dari madzhab Hanbaliy terkait penetapan tingkatan hukum ini. Syaikh Mar'i ibn Yusuf dari madzhab Hanbaliy, penyusun kitab Ghayah al-Muntaha mengatakan : Jawaban tersebut mengarah pada rokok dan kopi itu hukumnya mubah, tetapi bagi orang yang santun lebih utama meninggalkan keduanya.”
Sangat menarik bila tiga tingkatan hukum merokok sebagaimana di atas ditelusuri lebih cermat. Kiranya ada benang ruwet dan rumit yang dapat diurai dalam perbedaan pendapat yang terasa semakin sengit mengenai hukum merokok. Benang ruwet dan rumit itu adalah beberapa pandangan kontradiktif dalam menetapkan 'illah atau alasan hukum yang di antaranya akan diulas dalam beberapa bagian berikut ini:

Pertama, sebagian besar ulama' terdahulu berpandangan, bahwa merokok itu mubah atau makruh. Mereka pada masa itu lebih bertendensi pada bukti, bahwa merokok tidak membawa mudarat, atau membawa mudarat tetapi relatif kecil. Barangkali dalam gambaran kita sekarang, bahwa kemudaratan merokok dapat pula dinyaakan tidak lebih besar dari kemudaratan durian yang jelas berkadar kolesterol tinggi. Betapa tidak, sepuluh tahun lebih seseorang merokok dalam setiap hari merokok belum tentu menderita penyakit akibat merokok. Sedangkan selama tiga bulan saja seseorang dalam setiap hari makan durian, kemungkinan besar dia akan terjangkit penyakit berat.

Kedua, berbeda dengan pandangan sebagian besar ulama' terdahulu, pandangan sebagian ulama sekarang yang cenderung mengharamkan merokok karena lebih bertendensi pada informasi (bukan bukti) mengenai hasil penelitian medis yang sangat detail dalam menemukan sekecil apa pun kemudaratan yang kemudian terkesan menjadi lebih besar. Apabila karakter penelitian medis semacam ini kurang dicermati, kemudaratan merokok akan cenderung dipahami jauh lebih besar dari apa yang sebenarnya. Selanjutnya, kemudaratan yang sebenarnya kecil dan terkesan jauh lebih besar itu (hanya dalam bayangan) dijadikan dasar untuk menetapkan hukum haram. Padahal, kemudaratan yang relatif kecil itu seharusnya dijadikan dasar untuk menetapkan hukum makruh.
Hal seperti ini kemungkinan dapat terjadi khususnya dalam membahas dan menetapkan hukum merokok. Tidakkah banyak pula makanan dan minuman yang dinyatakan halal, ternyata secara medis dipandang tidak steril untuk dikonsumsi. Mungkinkah setiap makanan dan minuman yang dinyatakan tidak steril itu kemudian dihukumi haram, ataukah harus dicermati seberapa besar kemudaratannya, kemudian ditentukan mubah, makruh ataukah haram hukumnya.

Ketiga, hukum merokok itu bisa jadi bersifat relatif dan seimbang dengan apa yang diakibatkannya mengingat hukum itu berporos pada 'illah yang mendasarinya. Dengan demikian, pada satu sisi dapat dipahami bahwa merokok itu haram bagi orang tertentu yang dimungkinkan dapat terkena mudaratnya. Akan tetapi merokok itu mubah atau makruh bagi orang tertentu yang tidak terkena mudaratnya atau terkena mudaratnya tetapi kadarnya kecil.

Keempat, kalaulah merokok itu membawa mudarat relatif kecil dengan hukum makruh, kemudian di balik kemudaratan itu terdapat kemaslahatan yang lebih besar, maka hukum makruh itu dapat berubah menjadi mubah. Adapun bentuk kemaslahatan itu seperti membangkitkan semangat berpikir dan bekerja sebagaimana biasa dirasakan oleh para perokok. Hal ini selama tidak berlebihan yang dapat membawa mudarat cukup besar. Apa pun yang dikonsumsi secara berlebihan dan jika membawa mudarat cukup besar, maka haram hukumnya. Berbeda dengan benda yang secara jelas memabukkan, hukumnya tetap haram meskipun terdapat manfaat apa pun bentuknya karena kemudaratannya tentu lebih besar dari manfaatnya.

Nah, setelah mengetahui alas an penetapan hokum sebagaimana yang ditetapkan di atas, sekarang silahkan tentukan pilihanmu sendiri.
Wallahu a’lamu bisshawaab, wa tsummassalam…


Selengkapnya...

04 May, 2009

Konsep Ekonomi Islam

Ekonomi Islam

Metodologi Ekonomi IslamKonsep Ekonomi Islam Setiap sistem ekonomi pasti didasarkan atas ideologi yang memberikan landasan dan tujuannya, di satu pihak, dan aksioma-aksioma serta prinsip-prinsipnya, di lain pihak. Proses yang diikuti dengan seperangkat aksioma dan prinsip yang dimaksudkan untuk lebih mendekatkan tujuan sistem tersebut merupakan landasan sistem tersebut yang bisa diuji. Setiap sistem ekonomi membuat kerangka di mana suatu komunitas sosio-ekonomik dapat memanfaatkan sumber-sumber alam dan manusiawi untuk kepentingan produksi dan mendistribusikan hasil-hasil produksi ini untuk kepentingan konsumsi.


Penjelasan Validitas sistem ekonomi dapat diuji dengan konsistensi internalnya, kesesuaiannya dengan berbagai sistem yang mengatur aspek-aspek kehidupan lainnya, dan kemungkinannya untuk berkembang dan tumbuh. Karena itu suatu sistem ekonomi tidak dapat diharapkan untuk menyiapkan, misalnya, komposisi khusus barang-barang ekspor di negara tertentu, fungsi produksi yang praktis bermanfaat atau secara matematik dapat dikelola, atau rumusan mengenai bagaimana memperbesar fungsi-fungsi tuntutan individual dalam tuntutan yang berskala nasional. Komponen-komponen teori ekonomi seperti itu tidak dapat diawali dengan sistem tersebut karena komponen-komponen itu timbul dalam aplikasi praktis sistem tersebut dalam tatanan berbagai kondisi yang ada. Dengan melihat kondisi-kondisi ini dan dalam kerangka sistem ekonomi yang berlakulah unsur-unsur teori ekonomi seperti bisa dikembangkan, diuji dan diteorisasikan. Sebagai konsekuensinya suatu sistem untuk mendukung ekonomi Islam seharusnya diformulasikan berdasarkan pandangan Islam tentang kehidupan. Berbagai aksioma dan prinsip dalam sistem seperti itu seharusnya ditentukan secara pasti dan proses fungsionalisasinya seharusnya dijelaskan agar dapat menunjukkan kemurnian dan aplikabilitasnya. Namun demikian, perbedaan yang nyata, seharusnya ditarik antara sistem ekonomi Islam dan setiap tatanan yang bersumber padanya. Dalam literatur Islam mengenai ekonomi, sedikit perhatian sudah diberikan kepada masalah ini. Sebagai akibatnya, beberapa buku yang dikatakan membahas “sistem ekonomi Islam” sebenarnya hanya berbicara tentang latar belakang hukumnya saja, atau kadang-kadang disertai dengan beberapa prinsip ekonomi dalam Islam. Kajian mengenai prinsip-prinsip ekonomi itu hanya sedikit menyinggung mengenai kajian sisterm ekonomi, sama sebagaimana kajian terhadap tatabahasa yang hanya sedikit menyinggung pembentukan keterampilan berpidato saja

Selain itu, suatu pembedaan harus ditarik antara bagian dari Hukum (Fiqh) Islam yang membahas hukum dagang (Fiqhul-Mu’malat) dan ekonomi Islam. Bagian yang disebut pertama menetapkan kerangka di bidang hukum untuk kepentingan bagian yang disebut belakangan, sedangkan yang disebut belakangan mengkaji proses dan penanggulangan kegiatan manusia yang berkaitan dengan produksi, distribusi dan konsumsi dalam masyarakat Muslim Ekonomi Islam dibatasi oleh Hukum Dagang Islam, tetapi ini bukan satu-satunya pembatasan mengenai kajian ekonomi itu. Sistem sosial Islam dan aturan-aturan keagamaan mempunyai banyak pengaruh, atau bahkan lebih banyak, terhadap cakupan ekonomi dibandingkan dengan sistem hukumnya.

Tidak adanya pembedaan antara Fiqhul-Mu’amalat dan ekonomi Islam seperti itu merupakan sumber lain dari kesalahan konsep dalam literatur mengenai ekonomi Islam. Beberapa buah buku menggunakan alat-alat analisis fiqh dalam ekonomi, sedangkan buku-buku lain mengkaji ekonomi Islam dari sudut pandang fiqh. Sebagai contoh, teori konsumsi kadang-kadang berubah menjadi pernyataan kembali hukum Islam mengenai beberapa jenis makanan dan minuman, bukan kajian mengenai perilaku konsumen terhadap sejum1ah barang konsumsi yang tersedia, dan teori produksi diperkecil maknanya sebagai kajian tentang hak pemilikan dalam Islam yang tidak difokuskan pada perilaku perusahaan sebagai unit produktif.

Hal lain yang tidak menguntungkan dalam membahas ekonomi Islam dalam peristilahan Fiqhul-Mu’amalat adalah bahwa ancangan seperti itu, pada dasarnya, terpecah-pecah dan kehilangan keterkaitan menyeluruhnya dengan teori ekonomi. Barangkali hal inilah yang menjadi sebab tidak adanya teori moneter makroekonomik dalam semua literatur mengenai ekonomi Islam.

Kajian tentang sejarah sangat penting bagi ekonomi karena sejarah adalah laboratorium umat manusia. Ekonomi, sebagai salah satu ilmu sosial, perlu kembali kepada sejarah agar dapat melaksanakan eksperimen-eksperimennya dan menurunkan kecenderungan-kecenderungan jangka-jauh dalam berbagai ubahan ekonomiknya. Sejarah memberikan dua aspek utama kepada ekonomi, yaitu sejarah pemikiran ekonomi dan sejarah unit-unit ekonomi seperti individu-individu, badan-badan usaha dan ilmu ekonomi (itu sendiri).

Baru sedikit yang dilakukan untuk menampilkan sejarah pemikiran ekonomi Islam. Hal ini tidak menguntungkan karena sepanjang sejarah Islam para pemikir dan pemimpin politik muslim sudah mengembangkan gagasan-gagasan ekonomik mereka sedemikian rupa sehingga mengharuskan kita untuk menganggap mereka sebagai para pencetus ekonomi Islam yang sebenarnya. Penelitian diperlukan untuk menampilkan pemikiran ekonomi dari para pemikir besar Islam seperti Abu Yusuf (meninggal th. 182 H), Yahya bin Adam (meninggal th. 303 H), al-Gazali (meninggal tahun 505 H), Ibnu Rusyd (meninggal th. 595 H), al-’Izz bin ‘Abd al-Salam (meninggal th. 660 H), al-Farabi (meninggal th. 339 H), Ibnu Taimiyyah (meninggal th. 728 H), al-Maqrizi (meninggal th. 845 H), Ibnu Khaldun (meninggal th. 808 H), dan banyak lainnya lagi.

Kajian tentang sejarah pemikiran ekonomi dalam Islam seperti itu akan membantu menemukan sumber-sumber pemikiran ekonomi Islam kontemporer, di satu pihak dan di pihak lain, akan memberi kemungkinan kepada kita untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik mengenai perjalanan pemikiran ekonomi Islam selama ini. Kedua-duanya akan memperkaya ekonomi Islam kontemporer dan membuka jangkauan lebih luas bagi konseptualisasi dan aplikasinya.

Kajian terhadap perkembangan historik ekonomi Islam itu merupakan ujian-ujian empirik yang diperlukan bagi setiap gagasan ekonomi. Ini memiliki arti sangat penting, terutama dalam bidang kebijakan ekonomi dan keuangan negara. Namun peringatan terhadap adanya dua bahaya perlu dikemukakan bila aspek historik Islam itu diteliti. Pertama, bahaya kejumbuhan antara teori dengan aplikasi-aplikasinya, dan kedua, pembatasan teori dengan sejarahnya. Bahaya pertama muncul ketika para pemikir ekonomi Muslim modem tidak membedakan secara jelas antara konsepsi Islam dan aplikasi-aplikasi historiknya.

Hal ini tampak sangat jelas dalam cakupan keuangan negara, karena hampir semua buku mengenai keuangan negara yang ada dalam perpustakaan Islam kontemporer menganggap sumber-sumber negara sebagai sumber-sumber yang ada pada masa negara Islam besar, sejak masa ‘Umar bin Khattab sampai masa Harun al-Rasyid. Sedikit sekali perhatian diberikan kepada pengembangan teori tentang keuangan negara yang didasarkan atas Al-Qur’an dan Sunnah Nabi SAW. Hal ini tercermin dalam penampilan histori keuangan negara dalam Islam yang sedikit sekali memberikan ksempatan untuk menguji aplikabilitasnya pada saat sekarang karena karena adanya perubahan suasana di semua negara Islam.

Bahaya kedua muncul ketika para ahli ekonomi Islam menganggap pengalaman historik itu mengikat bagi kurun waktu sekarang. Hal ini tercermin dalam ketidakmampuan untuk mengancang Al-Qur’an dan Sunnah itu secara langsung, yang pada gilirannya menimbulkan teori ekonomi Islam yang hanya bersifat historik dan tidak bersifat ideologik.

Rancangan historik dalam kajian terhadap ekonomi Islam itu kadang-kadang diterapkan dalam kaitannya dengan masyarakat-masyarakat Muslim masa sekarang. Hal ini tercermin dalam ekonomi Islam yang hanya berbicara tentang harta dan penghasilan, konsumsi yang tidak semestinya dan sebagainya, bukan mengenai penanggulangan mekanisme makroekonomik dari sistem ekonomi Islam itu. Tidak diragukan bahwa beberapa persoalan di negara-negara Islam sekarang ternyata serius dan penting, dan bahwa persoalan-persoalan tersebut seharusnya dibahas dalam kerangka ekonomi Islam itu, namun bila sistem ekonomi Islam itu merupakan sistem yang pokok bahasannya, misalnya, nasionalisasi industri dan penataan pemilikan tanah (land reform), lantas apa yang akan terjadi setelah semuanya ini berhasil diraih? Apa yang bisa dilakukan oleh sistem seperti, katakanlah, untuk industri yang telah dirasionalisasi atau tanah yang (pemilikannya) telah ditata kembali itu?

Batas-batas antara sistem ekonomi Islam yang bisa diaplikasikan terhadap perekonomian yang sehat dengan pertumbuhan yang normal, di satu pihak, dan tindakan-tindakan darurat yang dapat diambil oleh para pejabat penanggungjawab bidang perekonomian untuk membahas masalah sementara seperti peran ketidakadilan dalam distribusi barang-barang, atau kemiskinan, di pihak lain, seharusnya diberi demarkasi (juga). Tanpa demarkasi seperti itu, ekonomi Islam akan menjadi kajian parsial terhadap gejala-gejala peralihan yang akan menimbulkan pemborosan setelah pembangunan negara-negara Islam itu, ini tidak berarti bahwa persoalan-persoalan seperti persoalan-persoalan pembangunan itu tidak boleh mendapatkan perhatian langsung dari para ahli ekonomi Islam itu, melainkan harus diartikan bahwa persoalan-persoalan ini harus ditanggulangi dalam kerangka teori umum ekonomi Islam yang mempertahankan relevansinya dengan semua tahap pembangunan ekonomi dan suasana politik.

Diversifikasi literatur Islam modem mengenai ekonomi timbul dari kesulitan inheren dalam jenis kajian ini. Sama sekali tidak ada “Teori Ekonomi Islam” yang tertulis dalam pengertiannya yang ketat. Selain itu, bahkan mungkin banyak orang berkeberatan dengan digunakannya istilah “Teori Ekonomi” itu dengan alasan bahwa bila suatu teori adalah penafsiran terhadap beberapa aspek realitas, berarti bisa terdapat banyak teori yang bernafaskan nilai-nilai filosofik Islam dalam penafsiran terhadap realitas ekonomi. Ketidakjelasan diantara kedua pandangan ini telah mendorong sejumlah penulis untuk menampilkan pandangan yang sangat sempit mengenai filsafat ekonomi Islam dan membingkainya dengan cara sangat terbatas yang tidak sesuai dengan implikasi-implikasi teoretik nilai-nilai filsafat ini. (Upaya pertama untuk menetapkan demarkasi batas-batas antara filsafat ekonomi dalam Islam dan teori-teori ekonomi dari para penulis bidang ekonomi dilakukan oleh as-Sadr pada tahun 1964. Dia diikuti oleh M.N. Siddiqi pada tahun 1971.

Kesulitan tipe kedua dihadapi tidak hanya oleh penelitian di bidang ekonomi Islam tetapi oleh semua kajian yang membahas berbagai aspek sosial Islam, ia muncul dari hakikat sumber-sumber hukum Islam itu sendiri. Al-Qur’an dan Sunnah Al-Qur’an merupakan firman (kalam) Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW, sebagai petunjuk bagi kehidupan perilaku manusia, Kitab Suci itu tidak tersusun dalam bagian dan bab, yang masing-masing membahas, kehidupan manusia seperti Hukum, Politik, Ekonomi dan sebagainya, dan juga tidak diberi judul-judul di dapat menemukan berbagai aplikasi dan aturan yang bersumber daripadanya. Kadang-kadang ia merupakan rincian yang tepat, misalnya, dalam kaitannya hukum waris. Dalam hal-hal lain ia hanya menyinggung pemecahan secara garis besar, yang menunjukkan bahwa seharusnya para ‘ulama’ dan pemikir Muslim dapat mengembangkan dan melengkapi rincian-rincian yang tidak berdasarkan prinsip-prinsip ini dan dengan memperhatikan situasi yang ada.

Mengancang dan mengembangkan teori-teori semacam itu adalah tugas para sarjana Muslim, dan hasil-hasil yang diperoleh dari upaya-upaya ini tidak dapat dikaitkan baik dengan Allah maupun dengan Al-Qur’an. Yang dapat dikemukakan mengenai hal ini bahwa ia adalah pandangan (sarjana-sarjana) Muslim tetapi bukan pandangan Islam, karena berbagai akibat dari situasi mereka terhadap teoretisasi tersebut tidak dapat diingkari. Selain itu mereka tidak memiliki otoritas untuk menafsirkannya.

Memang tidak ada seorang pun memiliki hak istimewa seperti itu. Sumber kedua, yaitu Sunnah, adalah pemahaman dan aplikasi Nabi terhadap Al-Qur’an. Kesulitan yang ditampilkan oleh sumber ini timbul dari kenyataan bahwa Nabi ketika itu, pada saat yang sama, adalah juga kepala negara. Karena itu sangat sulit untuk dibedakan antara sikap-sikapnya terhadap ajaran-ajaran Al-Qur’an yang bersifat permanen dan mengikat untuk selama-lamanya, dan terhadap aturan-aturan yang terkait dengan berbagai situasi di masa hayatnya, disamping kesulitan tersebut di atas. Upaya pertama yang dilakukan secara sungguh-sungguh untuk mengangkat rincian-rincian yang rumit megenai bidang ekonomi dari dalam Al-Qur’an dan Sunnah itu ke dalam teori dilakukan pada tahun 1964, lagi-lagi, oleh as-Sadr.

Pernyataan terakhir dalam bagian metodologi ini akan membahas alat-alat analisis. Literatur Islam yang ada sekarang nengenai ekonomi mempergunakan dua macam metode. Pertama adalah metode deduksi dan kedua metode pemikiran etrospektif. Metode pertama dikembangkan oleh para ahli hukum Islam, Fl-lqalta’, dan sangat dikenal di kalangan mereka, diaplikasikan terhadap ekonomi Islam modern untuk menampilkan prinsip-prinsip sistem Islam dan kerangka hukumnya dengan berkonsultasi dengan sumber-sumber Islam, yaitu Al-Qur’an dan Sunnah. Metode kedua dipergunakan oleh banyak penulis Muslim kontemporer yang merasakan tekanan: kemiskinan dan keterbelakangan di dunia Islam dan berusaha mencari berbagai pemecahan terhadap persoalan-persoalan ekonomi umat Muslim dengan kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah untuk mencari dukungan atas pemecahan-pemecahan tersebut dan mengujinya dengan memperhatikan Petunjuk Tuhan.

Kajian dalam pembahasan ini mempergunakan kedua metode tersebut. Namun perlu disadari bahwa kedua metode ini pada dasarnya diaplikasikan dalam kajian terhadap aturan-aturan dan prinsip-prinsip sistem ekonomi Islam tetapi hanya sedikit bisa diaplikasikan dalam kajian terhadap makroekonomi dan keseimbangan umum dalam sistem ekonomi semacam itu, atau bahkan dalam kajian terhadap teori-teori konsumsi dan matematik tertentu. Karena itu kajian ini akan mengaplikasikan alat-alat analisis matematik yang dikenal dalam teori ekonomi modern kapan saja dirasa perlu atau dianggap bermanfaat. Memang sebenarnya metode yang digunakan para Fuqaha pun sebenarnya bersifat matematik dalam semangat dan kecenderungannya



Selengkapnya...

PPh dan Zakat

PENDAHULUAN

Pajak menurut ahli keuangan adalah kewajiban yang ditetapkan kepada wajib pajak, yang harus disetor kepada negara sesuai ketentuan, tanpa mendapat prestasi kembali dari negara dan hasilnya digunakan untuk kepentingan-kepentingan umum di satu pihak dan untuk merealisir sebagian tujuan ekonomi, sosial, politik dan tujuan-tujuan lain yang ingin dicapai oleh negara pada sisi yang lain.
Zakat menurut ahli fiqh ialah hak tertentu yang diwajibkan Allah SWT tehadap harta kaum muslimin yang diperuntukkan bagi mereka, yang dalam al-Qur’an disebut mustahik, sebagai tanda syukur kepada Allah, sebagai upaya pendekatan diri padaNya, dan untuk membersihkan hartanya.



Pajak penghasilan (PPh) sebelum perubahan perundang-undangan perpajakan tahun 1983 diatur dalam beberapa ketentuan perundangan-undangan atau ordonansi seperti yang dikenal dengan pajak pendapatan orang pribadi yang dipungut berdasarkan Ordonansi Pajak pendapatan Tahun 1984 dan pajak perseroan yang diatur dalam Ordonansi Pajak Perseroan Tahun 1925 serta pajak atas bunga, dividend an royalty yang diatur dalam undang-undang Pajak atas Bunga, Dividend an Royalti tahun 1970.
Selanjutnya sejak tahun 1984 Pajak Penghasilan dipungut berdasarkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang pajak penghasilan (PPh). Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 untuk ketiga kalinya diubah pada tahun 2000 dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 yang diberlakukan per 1 Januari 2001 digunakan sebagai Dasar Hukum Pemungutan Pajak Penghasilan merupakan perpaduan dari beberapa ketentuan yang sebelumnya diatur secara terpisah.
Ditinjau dari sudut pandang ekonomi, pajak merupakan penerimaan Negara yang digunakan untuk mengarahkan masyarakat menuju kesejahteraan . Bila ditinjau dari tujuannya, pajak dan zakat memiliki tujuan yang sama, yaitu dalam rangka mensejahterakan masyarakat.

A. PAJAK PENGHASILAN (PPh)
Ditinjau dari sudut pandang ekonomi, pajak merupakan penerimaan Negara yang digunakan untuk mengarahkan masyarakat menuju kesejahteraan. Dapat dikatakan bahwa pajak merupakan motor penggerak kehidupan perekonomian masyarakat.
Tetapi tidak dipungkiri bahwa perekonomian masyarakat memerlukan adanya peran pemerintah di dalamnya. Dan peran pemerintah tersebut akan berjalan lancar bila ada pajak guna membiayai seluruh pergerakan ekonomi walaupun tidak semua pergerakan ekonomi dibantu oleh pajak saja.
Dalam lingkup kehidupannya, manusia hidup bersama-sama dan saling membutuhkan satu sama lain di dalam masyarakat, dimana untuk tataran yang begitu besar terjelma dalam suatu wadah Negara. Dalam organisasi seperti itu dibutuhkan adanya sarana dan prasarana yang mendukung kelangsungan hidup rakyat beserta Negara itu sendiri.
Salah satu prasarana yang dibutuhkan masyarakat adalah prasarana ekonomi. Prasarana ekonomi berkaitan erat dengan pertumbuhan ekonomi suatu Negara. Tanpa pertumbuhan ekonomi, Negara tidak dapat meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Demikian pula, tanpa pajak serta kesadaran membayar pajak pemerintah tidak dapat meningkatkan prasarana ekonomi.


a. Sejarah Pajak Penghasilan (PPh)
Pajak penghasilan sebenarnya sudah ada sejak zaman Romawi Kuno, antara lain dengan adanya pungutan yang bernama tributum yang berlaku sampai dengan tahun 167 SM. Pengenaan pajak-pajak penghasilan secara eksplisit diatur dalam suatu Undang-undang sebagai Income Tax, baru ditemukan di Inggris pada tahun 1799. Di Amerika Serikat, pajak penghasilan untuk pertama kali dikenal di New Plymouth pada tahun 1643, dimana dasar pengenaan pajak adalah " a person's faculty, personal faculties and abilitites", Pada tahun 1646 di Massachusett, dasar pengenaan pajak didasarkan pada "returns and gain". “Tersonal faculty and abilities" secara implisit adalah pengenaan pajak pengahasilan atas orang pribadi, sedangkan "Returns and gain" berkonotasi pada pajak penghasilan badan. Tonggak-tonggak penting dalam sejarah pajak di Amerika Serikat adalah Undang-Undang Pajak Federal tahun 1861 yang selanjutnya telah beberapa kali mengalami tax reform, terakhir dengan Tax Reform Act tahun 1986. Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan (tax return) yang dibuat pada tahun 1860-an berdasarkan Undang-Undang Pajak Federaltersebut telah dipergunakan sampai dengan tahun 1962.
Di Indonesia sendiri, sejarah PPh dimulai dengan adanya tenement tax (huistaks) pada tahun 1816, yakni sejenis pajak yang dikenakan sebagai sewa terhadap mereka yang menggunakan bumi sebagai tempat berdirinya rumah atau bangunan. Pada periode sampai dengan tuhun 1908 terdapat perbedaan perlakuan perpajakan antara penduduk pribumi dengan orang Asia dan orang Eropa, dengan kata lain, bahwa terdapat banyak perbedaan dalam perlakuan perpajakan. Tercatat beberapa jenis pajak yang hanya diperlakukan kepada orang Eropa seperti "patent duty". Sebaliknya, business tax untuk orang pribumi. Di samping itu, sejak tahun 1882 sampai tahun 1916 dikenal adanya Poll Tax yang pengenaannya berdasarkan status pribadi, pemilikan rumah dan tanah.
Pada tahun 1908 terdapat Ordonansi Pajak Pendapatan yang diperlakukan untuk orang Eropa, dan badan-badan yang melakukan usaha bisnis tanpa memperhatikan kebangsaan pemegang sahamnya. Dasar pengenaan pajaknya penghasilan yang berasal dari barang bergerak maupun barang tak gerak, penghasilan dari usaha, penghasilan pejabat pemerintah, pensiun dan pembayaran berkala. Tarifnya bersifat proporsional dari 1%, 2% dan 3% atas dasar kriteria tertentu.
Selanjutnya, tahun 1920 dianggap sebagai tahun unifikasi, dimana dualistik yang selama ini ada, dihilangkan dengan diperkenalkannya General Income Tax yakni Ordonansi Pajak Pendapatan yang diperbaharui tahun 1920 yang berlaku baik bagi penduduk pribumi, orang Asia maupun orang Eropa. Dalam Ordonansi Pajak Pendapatan ini telah diterapkan asas-asas pajak penghasilan yakni asas keadilan domisili dan asas sumber.
Karena desakan kebutuhan dengan makin banyaknya perusahaan yang didirikan di Indonesia seperti perkebunan-perkebunan, pada tahun 1925 ditetapkanlah Ordonansi Pajak Perseroan tahun 1925 (Ordonantie op de Vennootschapbelasting) yakni pajak yang dikenakan terhadap laba perseroan, yang terkenal dengan nama PPs (Pajak Perseroan). Ordonansi ini telah mengalami beberapa kali perubahan dan penyempurnaan antara lain dengan UU No. 8 tahun 1967 tentang Penisbahan dan Penyempurnaan Tatacara Pemungutan Pajak Pendapatan1944, Pajak Kekayaan 1932 dan Pajak Perseroan tahun 1925 yang dalam praktek lebih dikenal dengan UU MPO dan MPS. Perubahan penting lainnya adalah dengan UU No. 8 Tahun 1970 dimana fungsi pajak mengatur/regulerend dimasukkan ke dalam Ordonansi PPs 1925., khususnya tentang ketentuan "tax holiday". Ordonasi PPs 1925 berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 1983, yakni pada saat diadakannya tax reform, Pada awal tahun 1925-an yakni dengan mulai berlakunya Ordonansi Pajak Perseroan 1925 dan dengan perkembangan pajak pendapatan di Negeri Belanda, maka timbul kebutuhan untuk merevisi Ordonansi Pajak Pendapatan 1920, yakni dengan ditetapkannnya Ordonasi Pajak Pendapatan tahun 1932 (Ordonantie op de Incomstenbelasting 1932, Staatsblad 1932, No.111) yang dikenakan kepada orang pribadi (Personal Income Tax). Asas-asas pajak penghasilan telah diterapkan kepada penduduk Indonesia; kepada bukan penduduk Indonesia hanya dikenakan pajak atas penghasilan yang dihasilkannnya di Indonesia; Ordonansi ini juga telah mengenal asas sumber dan asas domisili.
Dengan makin banyak perusahaan-perusahaan di Indonesia, maka kebutuhan akan mengenakan pajak terhadap pendapatan karyawan perusahaan muncul. Maka pada tahun 1935 ditetapkanlah Ordonansi Pajak Upah (loonbelasting) yang memberi kewajiban kepada majikan untuk memotong Pajak Upah/gaji pegawai yang mempunyai tariff progresif dari 0% sampai dengan 15%. Pada zaman Perang Dunia II diperlakukan Oorlogsbelasting (Pajak Perang) menggantikan ordonansi yang ada dan pada tahun 1946 diganti dengan nama Overgangsbelasting (Pajak Peralihan). Dengan UU Nomor 21 tahun 1957 nama Pajak Peralihan diganti dengan nama Pajak Pendapatan tahun 1944 yang disingkat dengan Ord. PPd. 1944. Pajak Pendapatan sendiri disingkat dengan PPd. Saja. Ord. PPd. 1944 setelah beberapa kali mengalami perubahan terutama dengan perubahan tahun 1968 yakni dengan adanya UU No. 8 tahun 1968 tentang Perubahan dan Penyempurnaan Tatacara Pemungutan Pajak Pendapatan 1944, Pajak Kekayaan 1932 dan Pajak Perseroan 1925, yang lebih terkenal dengan "UU MPO dan MPS". Perubahan lainnya adalah dengan UU No. 9 tahun 1970 yang berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 1983, yakni dengan diadakannya tax reform di Indonesia . Selanjutnya sejak tahun 1984 Pajak Penghasilan dipungut berdasarkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang pajak penghasilan (PPh). Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 untuk ketiga kalinya diubah pada tahun 2000 dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 yang diberlakukan per 1 Januari 2001.



b. Ruang Lingkup Pajak Penghsilan (PPh)
Pajak penghasilan ditinjau dari segi pemungutannya dikategorikan sebagai pajak pusat, tetapi ditinjau dari sifatnya, termasuk pajak subjektif. Jadi, kewenangan pemungutannya berada pada pemerintah pusat dan pengenaannya berdasarkan pada diri orang atau badan yang dikenai pajak. Pajak penghasilan merupakan salah satu pajak langsung, maka beban pajak tersebut menjadi tanggungan wajib pajak yang bersangkutan dalam arti bahwa beban pajak tersebut tidak boleh dilimpahkan kepada pihak lain dengan cara memasukan beban pajak dalam kalkulasi harga jual. Pemungutan Pajak Penghasilan dilakukan secara periodik terhadap kumpulan penghasilan yang diperoleh atau diterima oleh wajib pajak dalam satu tahun pajak.
Pajak Penghasilan merupakan salah satu sumber penerimaan Negara yang berasal dari pendapatan rakyat, dimana pemungutannya telah diatur dengan undang-undang sehingga dapat memberikan kepastian hukum. Pajak Penghasilan sebelum perubahan perundang-undangan perpajakan tahun 1983 diatur dalam beberapa ketentuan perundang-undangan/ordonansi seperti yang dikenal dengan Pajak Pendapatan orang pribadi yang dipungut berdasarkan Ordonansi Pajak Pendapatan Tahun 1944 dan Pajak Perseroan yang diatur dalam Ordonansi pajak Perseroan Tahun 1925, serta Pajak Atas Bangunan, dividen an royalty yang diatur dalam Undang-Undang Pajak atas Bunga, Dividen an Royalti Tahun 1970.
Selanjutnya sejak tahun 1984 Pajak Penghasilan dipungut berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. Dalam sejarah perkembangannya pada undang-undang ini dilakukan perubahan pada tahun 1991 dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991, tahun 1994 dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994, dan yang terakhir dilakukan perubahan pada tahun 2000 dengan Undang-undang nomor 17 Tahun 2000 .


c. Subjek Pajak Penghasilan
Subjek pajak diartikan sebagai orang yang dituju oleh undang-undang untuk dikenakan pajak. Pajak Penghasilan dikenakan terhadap Subjek Pajak berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam Tahun Pajak.
Pengertian Subjek Pajak meliputi orang pribadi, warisan yang belum terbagai sebagai satu kesatuan, badan dan bentuk usaha tetap, sebagai berikut :
1. Orang Pribadi
Orang pribadi sebagai Subjek Pajak dapat bertempat tinggal atau berada di Indonesia ataupun diluar Indonesia.
2. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggatikan yang berhak
Warisan yang belum terbagi dimaksud merupakan Subjek Pajak pengganti menggantikan mereka yang berhak yaitu ahli waris. Masalah penunjukkan warisan yang belum terbagi sebagia Subjek Pajak pengganti dimaksudkan agar pengenaan pajak atas penghasilan yang berasal dari warisan tetap dapat dilaksanakan.
3. Badan
Pengertian badan mengacu pada Undang-undang KUP, bahwa badan adalah sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun tidak melakukan usaha yang meliputi Perseroan Terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara atau Daerah dengan nama atau bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pension, persekutuan, perkumpulan yayasan, organisasi massa, organisasi social politik, atau organisasi sejenis, lembaga, bentuk usaha tetap dan badan lainnya. Dalam hal ini termasuk reksadana. BUMN atau BUMD sebagai Subjek Pajak tanpa memperhatikan nama dan bentuknya. Sebagai contoh lembaga atau badan yang dimiliki Pemerintah Pusat atau Daerah yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan untuk memperoleh penghasilan. Khusus masalah perkumpulan sebagai subjek pajak adalah perkumpulan yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan untuk memperoleh penghasilan atau memberikan jasa kepada anggota. Perkumpulan mencakup pula asosiasi, persatuan, perhimpunan atau ikatan dari pihak-pihak yang mempunyai kepentingan yang sama.
4. Bentuk Usaha Tetap
Yang dimaksud dengan bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau badan yang tidak di dirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia. Bentuk usaha tetap ini ditetapkan sebagai Subjek Pajak tersendiri terpisah dari badan. Perlakuan perpajakannya di persamakan dengan Subjek Pajak Badan. Pengenaan Pajak Penghasilan Bentuk Usaha Tetap ini mempunyai eksistensi sendiri dan tidak termasuk dalam pengertian badan.

d. Pengelompokkan Subjek Pajak
Berdasarkan letak geografis subjek Pajak Penghasilan dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri.
1. Subjek Pajak dalam Negeri
Yang dimaksud Subjek Pajak Dalam Negeri adalah :
a. Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dar 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.
b. Badan yang didirikan atau bertempat tinggal di Indonesia.
c. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak.
Warisan yang belum terbagi yang di tinggalkan oleh orang pribadi sebagai Subjek Pajak Dalam Negeri dianggap Subjek Pajak Dalam Negeri mengikuti status pewaris. Adapun untuk pelaksanaan pemenuhan kewajiban perpajakannya, warisan tersebut menggantikan kewajiban ahli waris yang berhak. Apabila warisan tersebut telah dibagi, maka kewajiban perpajakannya berpindah kepada ahli waris.
Warisan yang belum terbagi yang ditinggalkan oleh orang pribadi sebagai Subjek Pajak luar Negeri yang tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia, tidak dianggap sebagai Subjek Pajak pengganti karena pengenaan pajak atas pengahasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi dimaksud melekat pada objeknya.

2. Subjek Pajak Luar Negeri
Yang dimaksud Subjek Pajak Luar Negeri adalah :
a. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia.
Bentuk usaha tetap menggantikan orang pribadi atau badan sebagai Subjek Pajak Luar Negeri dalam memenuhi kewajiban perpajakannya di Indonesia. Bagi subjek Pajak Luar Negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia, pemenuhan kewajiban perpajakannya disamakan dengan pemenuhan kewajiban perpajakan bagi subjek Pajak Dalam Negeri.
b. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
Dalam hal penghasilan diterima atau diperoleh tanpa melalui bentuk usaha tetap, maka pengenaan pajaknya dilakukan langsung kepada Subjek Pajak Luar Negeri tersebut.
Perbedaan yang penting antara Subjek Pajak Dalam Negeri dan Subjek Pajak Luar Negeri terletak dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya, antara lain :
a. Subjek Pajak Dalam Negeri dikenakan pajak atas penghasilan baik yang diterima atau diperoleh dari Indonesia dan dari luar Indonesia, sedangkan Subjek Pajak Luar Negeri dikenakan pajak hanya atas penghasilan yang berasal dari sumber penghasilan Indonesia;
b. Subjek Pajak Dalam Negeri dikenakan pajak berdasarkan penghasilan neto dengan tarif umum, sedangkan Subjek Pajak Luar Negeri dikenakan pajak berdasarkan penghasilan bruto dengan tarif pajak sepadan;
c. Subjek Pajak Dalam Negeri wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan sebagai sarana untuk menetapkan pajak yang terutang dalam suatu tahun pajak, sedangkan Subjek Pajak Luar Negeri tidak wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan, karena kewajiban pajaknya dipenuhi melalui pemotongan pajak yang bersifat final.

3. Tidak Termasuk Subjek Pajak
Subjek Pajak Penghasilan dikecualikan pada hal-hal sebagai berikut :
a. Badan perwakilan Negara asing;
b. Pejabat-pejabat perwakilan diplomatic dan konsulat atau pejabat-pejabat lain dari Negara asing dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama-sama mereka, dengan syarat bukan warga Negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain diluar jabatan atau pekerjaannya tersebut, serta Negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbale balik;
c. Organisasi-organisasi internasional yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dengan syarat : Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia selain pemberian pinjaman kepada pemerintah yang dananya berdasarkan iuran pada anggota;
d. Pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dengan syarat bukan warga Negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia.

4. Kewajiban Pajak Subjektif
Pajak Penghasilan merupakan jenis pajak subjektif yang kewajiban pajaknya melekat pada subjek pajak tersebut, tidak dilimpahkan kepada sunjek pajak lainnya. Oleh karena itu, dalam rangka memberikan kepastian hokum, penentuan saat mulai dan berakhirnya kewajiban pajak subjektif tersebut ditentukan sebagai berikut :
a. Bagi orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, kewajiban pajak subjektifnya di mulai pada saat ia dilahirkan di Indonesia, sedangkan bagi orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia, kewajiban pajaknya dimulai sejak hari pertama orang pribadi tersebut berada di Indonesia atau berniat untuk bertempat tinggal di Indonesia. Kewajiban pajak subjektif orang pribadi berakhir pada saat meninggal dunia atau meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya.
b. Bagi badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kewajiban pajak subjektifnya dimulai pada saat badan tersebut didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia dan berakhir pada saat dibubarkan atau tidak lagi bertempat kedudukan di Indonesia.
c. Bagi orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia (dimulai pada saat bentuk usahatetap tersebut berada di Indonesia) dan kewajiban pajak subjektifnya berakhir pada saat tidak lagi menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia (bentuk usaha tetap tersebut tidak lagi berada di Indonesia).
d. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia, dan kewajiban pajak subjektifnya berakhir pada saat tidak lagi menerima atau memperoleh penghasilan tersebut.

e. Bagi warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak, kewajiban pajak subjektifnya dimulai pada saat timbulnya warisan yang belum terbagi tersebut, yaitu pada saat meninggalnya pewaris, sehingga sejak saat itu pemenuhan kewajiban perpajakannya melekat pada warisan tersebut. Kewajiban pajak subjektif warisan berakhir pada saat warisan tersebut selesai dibagi kepada para ahli warisnya, sehingga sejak saat itu pemenuhan kewajiban perpajakannya beralih kepada para ahli warisnya.
f. Apabila kewajiban pajak subjektif orang pribadi yang bertempat tinggal atau yang berada di Indonesia hanya meliputi sebagian dari tahun pajak, maka bagian tahun pajak tersebut menggantikan tahun pajak. Dapat terjadi orang pribadi menjadi Subjek Pajak tidak untuk jangka waktu satu tahun pajak penuh, misalnya orang pribadi yang mulai menjadi Subjek Pajak pada pertengahan tahun pajak, atau yang meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya pada pertengahan tahun pajak. Jangka waktu yang kurang dari satu tahun pajak tersebut dinamakan bagian tahun pajak yang menggantikan tahun pajak.

e. Objek Pajak Penghasilan
Yang menjadi Objek Pajak adalah Penghasilan yaitu setiap Tambahan Kemampuan Ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun.
Objek pajak telah diatur dalam pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 tahun 2000.



f. Dasar Hukum Pajak Penghasilan
Dasar Hukum Perpajakan Untuk Penghasilan :
1. Undang-undang No.17 tahun 2000 tentang perubahan ketiga atas UU No 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
2. Keputusan Dirjen Pajak No. KEP-161/PJ./2001 tentang Jangka Waktu Pendaftaran dan Pelaporan Kegiatan Usaha, Tata Cara Pendaftaran dan Penghapusan NPWP, serta Pengukuhan dan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.
Penjelasan:
a. Yang menjadi Objek Pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun.
b. Wajib Pajak yang tidak menjalankan usaha, apabila dalam waktu satu bulan memperoleh penghasilan yang jumlahnya telah melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak setahun dan/atau Wajib pajak yang menjalankan usaha wajib mendaftarkan diri untuk mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Apabila anda memiliki penghasilan dari lebih satu sumber yakni dari perusahaan tempat ibu bekerja yang telah dipotong pajak oleh perusahaan dan dari usaha edukasi prasekolah , maka ibu wajib memiliki NPWP, menyampaikan SPT Tahunan Pajak Pribadi dan dalam pelaporan SPT Tahunan untuk pajak pribadi ibu terdapat pajak terhutang yang masih harus dibayar karena penghasilan yang akan ibu laporkan di dalam SPT Tahunan Pajak Pribadi adalah total gabungan penghasilan dari perusahaan dan dari usaha edukasi. Jika ibu telah menikah , maka NPWP diberikan atas nama suami . untuk lebih jelasnya lebih baik anda melakukan konsultasi pajak dengan konsultan pajak atau biro jasa yang bergerak di bidang pajak

g. Saat Pelunasan Pajak Penghasilan
Dengan system self assessment yang digunakan dalam system perpajakan nasional, perlu adanya kepastian yang menetapkan kapan Pajak Penghasilan tersebut harus dilunasi. Ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 138 Tahun 2000 telah menetapkan saat pelunasan pajak dalam tahun berjalan dengan kualifikasi:
1. Melalui Pihak Lain
a. Terhadap pemotongan Pajak Penghasilan oleh pihak-pihak yang melakukan pemotongan PPh Pasal 21 (perhatikan pemotong sebagaimana dimaksud Pasal 21 ayat (1) Undang-undang Pajak Penghasilan) terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran atau pada akhir bulan terutangnya penghasilan yang bersangkutan, tergantung peristiwa yang terjadi terlebih dahulu.
b. Pemungutan Pajak Penghasilan oleh pihak-pihakyang melakukan pemungutan sebagaimana diatur dalam Pasal 22 Ayat (1) Undang-undang Pajak Penghasilan Terutang pada saat pembayaran, kecuali ditetapkan lain oleh Menteri Keuangan.
c. Pemotongan Pajak Penghasilan oleh pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 Undang-undang Pajak Penghasilan, terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran atau akhir bulan terutangnya penghasilan yang bersangkutan, tergantung peristiwa yang terjadi terlebih dahulu.
d. Pemotongan Pajak Penghasilan atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 Ayat (1) dan Ayat (2) Undang-undang Pajak Penghasilan, terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran atau akhir bulan terutangnya penghasilan yang bersangkutan, tergantung peristiwa yang terjadi terlebih dahulu.
2. Langsung oleh Wajib Pajak Sendiri
a. Untuk Wajib Pajak Orang Dalam Negeri yang menerima penghasilan sehubungan dengan pekerjaan dari badan-badan yang tidak wajib melakukan pemotongan, penyetoran dan pelaporan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) Undang-undang Pajak Penghasilan, wajib memiliki NPWP dan melaksanakan sendiri penghitungan dan pembayaran Pajak Penghasilan yang terutang dalam tahun berjalan serta melaporkannya dalam Surat Pemberitahuan Tahunan.
b. Pelunasan Pajak Penghasilan melalui pembayaran pajak oleh Wajib Pajak sendiri yakni angsuran Pajak Penghasilan dalam tahun pajak berjalan (PPh Pasal 25).
c. Pelunasan Pajak Penghasilan melalui pembayaran pajak oleh Wajib Pajak atas penghasilan-penghasilan tertentu yang diatur tersendiri dengan Peraturan Pemerintah, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 Ayat (2) Undang-undang Pajak Penghasilan.
3. Saat sesudah akhir Tahun Pajak
Pelunasan pajak sesudah tahun pajak berakhir dilakukan apabila jumlah Pajak Penghasilan yang terutang untuk satu tahun pajak lebih besar daripada jumlah kredit pajak untuk tahun pajak yang bersangkutan. Contohnya, PPh Pasal 29 Undang-undang Pajak Penghasilan.

h. Sanksi Pidana
Dalam Pasal 39 Undang-undang No. 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan (KUP) dinyatakan bahwa seseorang dengan sengaja tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut, sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan Negara, diancam dengan pidana penjara selama-lamanya 6 tahun dan denda setinggi-tingginya 4 kali jumlah pajak yang terutang atau kurang dibayar.

i. Peraturan Pemerintah Tentang Penghitugan Penghasilan Kena Pajak
PP Nomor 138 Tahun 2000 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan Dalam Tahun Berjalan mengatur pula mengenai pengeluaran dan biaya yang tidak boleh dikurangkan dalam menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak Wajib Pajak Dalam Negeri dan Bentuk Usaha Tetap.

B. ZAKAT
a. Pengertian Zakat
Menurut bahasa, zakat merupakan masdar dari Zaka yang berarti berkah, tumbuh, bersih dan baik. Sedangkan menurut Lisan al-Arab, arti kata zaka ditinjau dari sudut bahasa adalah suci, tumbuh, berkah dan terpuji. Dalam istilah fiqh, zakat adalah sejumlah harta tertentu yang diwajibkan Allah untuk diserahkan kepada orang-orang yang berhak. Jumlah yang dikeluarkan tersebut disebut zakat karena yang dikeluarkan itu menambah banyak, membuat lebih berarti dan melindungi kekayaan dari kebinasaan dan kesia-siaan, demikian al-Nawawi mengutip pendapat al-Wahidi).

b. Landasan Normatif
Dalam beberapa teks al-Qur’an dan hadis, istilah shadaqah digunakan untuk perintah zakat.(QS 9: 58, 9 : 60, 9:103). Di samping itu, al-Qur’an juga menggunakan dengan kalimat zakat (kalimat zakat disebutkan 30 kali dalam al-Qur’an, 27 kali disebut bersama dengan penyebutan ayat tentang shalat).
Qadli Abu Bakar bin Arabi berpendapat bahwa sadaqah berasal dari kata shidq (benar). Benar dalam hubungan dengan sejalannya perbuatan dan ucapan serta keyakinan.
Dengan demikian, sedekah berarti bukti kebenaran iman dan membenarkan adanya hari kiyamat.

c. Fungsi Zakat Bagi Penerima, Individu dan Masyarakat
Zakat merupakan ibadah sosial yang berkaitan erat antara hubungan manusia dengan manusia, yakni antara pemberi dengan penerima, maupun terhadap masyarakat. Fungsi zakat bagi penerima,individu dan masyarakat diantaranya :
• pemberdayaan dari kemiskinan; hadits riwayat Imam Al-Ashbahani bahwa Rasulullah saw bersabda: "Sesungguhnya Allaw swt telah mewajibkan atas orang kaya suatu kewajiban zakat yang dapat menanggulangi kemiskinan. Tidak mungkin terjadi fakir menderita kelaparan atau kekurangan sandang kecuali dikarenakan kebakhilan orang kaya muslim. Ingatlah, Allah swt akan melakukan perhitungan yang teliti dan meminta pertanggungjawaban mereka lalu menyiksa mereka dengan siksaan yang pedih".
• perwujudan kasih-sayang dan tolong-menolong sesama muslim, antara yang kaya (punya kelebihan harta) dan yang miskin (kekurangan harta), sebagai bukti persaudaraan antar mu'min (Q.S. 49:10;9:71).
• manifestasi rasa syukur atas limpahan ni'mat Allah swt yang tak terhitung jumlahnya (Q.S. 14:34), baik lahir maupun batin (Q.S. 31:20), berupa ni'mat iman dan islam (Q.S. 3:164), penglihatan, pendengaran, dan akal pikiran (Q.S. 16:78), istr-istri yang menyenangkan (Q.S. 30:21), rizqi buah-buahan (Q.S. 2:21), dll.
• Pembebas dari kebinasaan (Q.S. 2:195), ketakutan dan kesedihan (Q.S. 2:274).
• Pembersih harta, penyuci dan penenang jiwa (Q.S. 9:103).
• Peneguh kedudukan di muka bumi (Q.S. 22:41).
• Pelipat ganda rizqi (Q.S. 2:261, 265; 30:39).
• Zakat merupakan realisasi kepedulian sosial
• Mencegah atau minimal mengurangi terjadinya penumpukan atau konglomerasi dan perputaran harta di kalangan orang-orang kaya saja (Q.S. 59:7).
• Zakat akan memperkecil kesenjangan sosial
• Zakat mencegah munculnya penyakit hati akibat kecemburuan sosial.
• Insya Allah, bila Zakat suatu negeri benar-benar dikelola dengan profesional dan transparan maka penduduk negeri akan hidup aman-tenteram, sebagai indikasi dibukanya pintu barokah dari langit dan bumi (Q.S. 7:96) dan negeri tersebut menjadi Baldatun Thoyyibatun wa Rabbun Ghafuurun.

C. Pajak dan zakat
Meskipun sistem ekonomi yang islami tidak melarang secara mutlak pemungutan pajak, tetapi pajak merupakan sumber penerimaan negara yang tidak dianjurkan. Selain telah ada zakat, penungutan pajak juga dapat membebani masyarakat sehingga sedapat mungkin dihindari. Akan tetapi, negara kita merupakan negara yang menggunakan sstem ekonomi konvensional, maka dari itu, zakat dijadikan sebagai pengurang pajak merupakan wacana yang sangat menarik.
Pajak menurut ahli keuangan adalah kewajiban yang ditetapkan kepada wajib pajak, yang harus disetor kepada negara sesuai ketentuan, tanpa mendapat prestasi kembali dari negara dan hasilnya digunakan untuk kepentingan-kepentingan umum di satu pihak dan untuk merealisir sebagian tujuan ekonomi, sosial, politik dan tujuan-tujuan lain yang ingin dicapai oleh negara pada sisi yang lain
Zakat menurut ahli fiqh ialah hak tertentu yang diwajibkan Allah SWT tehadap harta kaum muslimin yang diperuntukkan bagi mereka, yang dalam al-Qur’an disebut mustahik, sebagai tanda syukur kepada Allah, sebagai upaya pendekatan diri padaNya, dan untuk membersihkan hartanya.

a. Persamaan Pajak dan zakat
• Unsur paksaan dalam menunaikannya.
• Ada lembaga sebagai pengumpul; pada pajak ada negara dan pada zakat lembaga amil.
• Tidak mendapatkan imbalan sebagai akibat dari mengeluarkan sebagian harta
• Sama-sama memiliki tujuan sosial
• sama-sama memiliki implikasi sosial
b. Perbedaan Pajak dan zakat
1) dari aspek nama dan etikanya
- zakat, tinjauan lafdzi menunjukkan bahwa dikeluarkannya zakat diyakini akan memiliki implikasi pada kesucian harta, dan menjadi sebab bertambahnya nilai harta.
- Pajak, tinjauan lafdzi (bahasa Arab dharibah) menunjukkan bahwa pembayaran pajak berarti melakukan pembayaran upeti. Pada diri seseorang yang telah membayar pajak tidak ada lagi beban upeti.
2) dari aspek hakikat
• Zakat ditunaikan dalam rangka memenuhi tuntutan Allah SWT, ia dibayar untuk tujuan ibadah, mendekatkan diri pada Allah dan dalam rangka mencari keridlaanNya atas harta yang dikonsumsi.
• Pajak dibayar tidak didasari atas keyakinan akan beribadah dan pendekatan diri pada Allah, ia dibayar semata-mata memenuhi kewajiban yang ditetapkan negara.
3) kadar harta
• Zakat merupakan kewajiban yang ditetapkan oleh Allah, maka segala ketentuan termasuk jumlahnya Allah-lah yang memiliki kewenangan untuk menentukan. Tak seorangpun dapat merubah ketentuan.
• Pajak merupakan kewajiban dari negara, maka negaralah yang memiliki kewenangan menentukan jumlahnya, temasuk negara pula yang mempunyai kewenagan untuk menghapuskannya.
4) kelestarian dan sasaran
• Zakat adalah kewajiban yang bersifat tetap dan terus menerus;
• Sasaran zakat sudah pasti ditetapkan oleh Allah; sedangkan
• Pajak adalah kewajiban pajak sangat tergantung pada negara;
• Sasaran pajak ditentukan oleh negara

D. ZAKAT SEBAGAI PENGURANG PAJAK
Di Indonesia, memang belum ada Peraturan Pemerintah ataupun Undang-Undang yang mengatur zakat bisa mengurangi beban pajak penghasilan. Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) meminta DPR menjadikan zakat sebagai pengurang pajak karena zakat dapat berperan dalam pengentasan kemiskinan. Karena itu, DPR diminta untuk segera mengamandemen UU Pajak Penghasilan (PPh).
Saat ini zakat baru ditetapkan sebagai pengurang penghasilan kena pajak (PKP) dan bukan sebagai pengurang langsung atas pajak. Hal tersebut berdasarkan UU No 17 tahun 2000 tentang amandemen atas UU No 7 tahun 1983 tentang pajak penghasilan (PPh) dan UU No 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat. Kebijakan tersebut dinilai tidak berdampak besar terhadap perkembangan zakat di Indonesia. Padahal, zakat memiliki peran sosial sama seperti pajak. Termasuk berperan pengentasan kemiskinan. Karena itu, zakat sudah selayaknya menjadi pengurang pajak agar masyarakat termotivasi untuk membayar zakat. Dengan demikian, zakat sebagai pengentas kemiskinan dapat berkembang pesat di Indonesia.
Bila pajak dapat dijadikan sebagai pengurang pajak, maka zakat dapat menjadi instrumen pendukung program pemerintah. Hal tersebut dilakukan dengan mendorong pengelolaan pajak untuk kepentingan infrastruktur non sosial. Sedangkan, zakat untuk pengelolaan sosial. Jadi, zakat dikelola untuk kepentingan sosial pengentas kemiskinan dan bencana. Sedangkan pajak, digunakan untuk membangun infrastruktur. berdasarkan hasil pengkajian Baznas, potensi zakat profesi satu tahun di Indonesia bisa mencapai sekitar Rp 32 triliun. Kalau potensi dana zakat tersebut didasari pemerintah dan dikelola dengan baik, maka permasalahan kemiskinan di Indonesia dapat diatasi dengan segera tanpa harus berutang.
Direktorat Jenderal Pajak Departemen Keuangan (Depkeu) tidak perlu khawatir dengan berkurangnya penghimpunan dana pajak akibat zakat. Sebab, zakat sebagai pengurang pajak telah diterapkan di sejumlah negara dan terbukti tidak berdampak negatif terhadap penghimpunan pajak seperti di Singapura dan Malaysia. Untuk merealisasikan hal tersebut, UU Pajak perlu diamandemen agar zakat dapat menjadi pengurang pajak. Dorongan tersebut dapat dilakukan pemerintah bersama dengan Baznas.

E. KESIMPULAN
Banyak persamaan antara zakat dan pajak, tetapi banyak juga perbedaan yang mendasari keduanya.
SEJAK awal sesungguhnya ajaran Zakat dalam Islam tidak dimaksud lain kecuali sebagai acuan etika sosial untuk Penganggaran Negara (state budgeting), baik pada sektor pendapatan (pemajakan) maupun pembelanjaannya.
Pada hakekatnya, kedunya merupakan usaha dalam mensejahterakan masyarakat, dimana pajak telah diatur oleh pemerintah dan zakat telah diatur oleh Allah SWT guna mengurangi angka kemiskinan pada masyarakat dan memperpendek jarak antara orang kaya dan orang yang kurang kaya.
Di Indonesia, potensi zakat sangat besar. Bila kesadaran masyarakat akan zakat tinggi, maka bukan hal yang mustahil bangsa ini makmur dan sejahtera. Banyak pihak yang berpendapat bila zakat dapat mengurangi pajak penghasilan (PPh), maka kesenjangan sosial akan sedikit teratasi.
Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) mendesak pemerintah agar segera mengamandemen UU Pajak dimana harapannya adalah zakat bisa menjadi pengurang pajak penghasilan (PPh).
Hal ini bukanlah sesuatu yang mustahil, karena pada dasarnya zakat dan pajak memiliki tujuan yang sama yaitu mensejahterakan masyarakat, serta mendorong pergerakan eknomi masyarakat menjadi lebih maju lagi.



DAFTAR PUSTAKA

B. Ilyas, Wirawan, dan Waluyo, Perpajakan Indonesia, Jakarta : Salemba, 2003.

Hendrie, Anto, M.B., Pengantar Ekonomika Mikro Islami, Yogyakarta : EKONISIA, 2003.

Inayah, Gazi, Teori Komprehensif Tentang Zakat dan Pajak, Yogyakarta : Tiara Wacana Yogaya, 2003.

Juanda, Gustian, Pelaporan Zakat Pengurang Pajak Penghasilan, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2006.

Y Sri Pudyatmoko, Pengantar Hukum Pajak, Yogyakarta : Andi, 2004.

http://id.wikipedia.org/wiki/Pajak_penghasilan, diakses tanggal 24 Oktober Jam 08.00. wib

Selengkapnya...

10 April, 2009

Ar-Rahn/Pegadaian Syariah

Pengertian
Banyak negara yang telah dapat mencapai kemakmurannya dengan sistem bunga ini di atas kemiskinan negara lain sehingga terus – menerus terjadi kesenjangan. Pengalaman dibawah dominasi perekonomian dengan sistem bunga selama ratusan tahun membuktikan ketidak – mampuannya untuk menjembatani kesenjangan ini. Didunia, diantara negara maju dan negara berkembang kesenjangan itu semakin lebar sedang didalam Negara berkembang, kesenjangan itupun semakin dalam.

Karena ketidak sadaran akan besarnya kelemahan sistem bunga, Pemerintah di negara – negara itu menjadi sibuk menambalnya dengan berbagai kebijaksanaan dan peraturan yang memaksa para pelaku ekonomi yang di untungkan sistem bunga agar menaruh peduli kepada pelaku ekonomi yang dirugikan sistem bunga itu. Tetapi para pelaku ekonomi yang diuntungkan sistem bunga dan telah menjadi konglomerat itu kebanyakan lebih merasakannya sebagai paksaan daripada kewajiban.
Sebagian umat Islam di Indonesia yang mampu mensyukuri nikmat Allah itu mulai memanfaatkan peluang tersebut dengan mendukung berdirinya bank syariah, asuransi syariah, dan reksadana syariah dalam bentuk menjadi pemegang saham, menjadi penabung dan nasabah, menjadi pemegang polis, menjadi investor, dan sebagainya. Lebih dari itu banyak pula yang secara kreatif mengembangkan ide untuk berdirinya lembaga – lembaga keuangan syariah bukan bank lainnya seperti : modal ventura, leasing, dan pegadaian.
Pegadaian syariah atau dikenal dengan istilah rahn, dalam pengoperasiannya menggunakan metode Fee Based Income (FBI) atau Mudharobah (bagi hasil). Karena nasabah dalam mempergunakan marhumbih (UP) mempunyai tujuan yang berbeda-beda misalnya untuk konsumsi, membayar uang sekolah atau tambahan modal kerja, penggunaan metode Mudharobah belum tepat pemakaiannya. Oleh karenanya, pegadaian menggunakan metode Fee Based Income (FBI). Sebagai penerima gadai atau disebut Mutahim, penggadaian akan mendapatkan Surat Bukti Rahn (gadai) berikut dengan akad pinjam-meminjam yang disebut Akad Gadai Syariah dan Akad Sewa Tempat (Ijarah). Dalam akad gadai syariah disebutkan bila jangka waktu akad tidak diperpanjang maka penggadai menyetujui agunan (marhun) miliknya dijual oleh murtahin guna melunasi pinjaman. Sedangkan Akad Sewa Tempat (ijarah) merupakan kesepakatan antara penggadai dengan penerima gadai untuk menyewa tempat untuk penyimpanan dan penerima gadai akan mengenakan jasa simpan.

1. Pengertian
Menurut bahasa, “rahn” berarti

pemenjaraan
. Misalnya perkataan mereka (orang Arab), “rahanasy syai-a” artinya apabila sesuatu itu terus menerus dan menetap. Allah berfirman: “Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas perbuatannya.” (QS Al-Muddatsir: 38).
Adapun menurut istilah syara’, kata rahn ialah memperlakukan harta sebagai jaminan atas hutang yang dipinjam, supaya dianggap sebagai pembayaran manakala yang berhutang tidak sanggup melunasi hutangnya. (Fathul Bari V: 140 dan Manarus Sabil I: 351).

2. Lahirnya Pegadaian Syariah
Terbitnya PP/10 tanggal 1 April 1990 dapat dikatakan menjadi tonggak awal kebangkitan Pegadaian, satu hal yang perlu dicermati bahwa PP10 menegaskan misi yang harus diemban oleh Pegadaian untuk mencegah praktik riba, misi ini tidak berubah hingga terbitnya PP103/2000 yang dijadikan sebagai landasan kegiatan usaha Perum Pegadaian sampai sekarang. Banyak pihak berpendapat bahwa operasionalisasi Pegadaian pra Fatwa MUI tanggal 16 Desember 2003 tentang Bunga Bank, telah sesuai dengan konsep syariah meskipun harus diakui belakangan bahwa terdapat beberapa aspek yang menepis anggapan itu. Berkat Rahmat Allah SWT dan setelah melalui kajian panjang, akhirnya disusunlah suatu konsep pendirian unit Layanan Gadai Syariah sebagai langkah awal pembentukan divisi khusus yang menangani kegiatan usaha syariah.
Konsep operasi Pegadaian syariah mengacu pada sistem administrasi modern yaitu azas rasionalitas, efisiensi dan efektifitas yang diselaraskan dengan nilai Islam. Fungsi operasi Pegadaian Syariah itu sendiri dijalankan oleh kantor-kantor Cabang Pegadaian Syariah/ Unit Layanan Gadai Syariah (ULGS) sebagai satu unit organisasi di bawah binaan Divisi Usaha Lain Perum Pegadaian. ULGS ini merupakan unit bisnis mandiri yang secara struktural terpisah pengelolaannya dari usaha gadai konvensional. Pegadaian Syariah pertama kali berdiri di Jakarta dengan nama Unit Layanan Gadai Syariah ( ULGS) Cabang Dewi Sartika di bulan Januari tahun 2003. Menyusul kemudian pendirian ULGS di Surabaya, Makasar, Semarang, Surakarta, dan Yogyakarta di tahun yang sama hingga September 2003. Masih di tahun yang sama pula, 4 Kantor Cabang Pegadaian di Aceh dikonversi menjadi Pegadaian Syariah.

3. Operasionalisasi Pegadaian Syariah
Implementasi operasi Pegadaian Syariah hampir bermiripan dengan Pegadaian konvensional. Seperti halnya Pegadaian konvensional , Pegadaian Syariah juga menyalurkan uang pinjaman dengan jaminan barang bergerak. Prosedur untuk memperoleh kredit gadai syariah sangat sederhana, masyarakat hanya menunjukkan bukti identitas diri dan barang bergerak sebagai jaminan, uang pinjaman dapat diperoleh dalam waktu yang tidak relatif lama (kurang lebih 15 menit saja). Begitupun untuk melunasi pinjaman, nasabah cukup dengan menyerahkan sejumlah uang dan surat bukti rahn saja dengan waktu proses yang juga singkat.
Di samping beberapa kemiripan dari beberapa segi, jika ditinjau dari aspek landasan konsep; teknik transaksi; dan pendanaan, Pegadaian Syariah memilki ciri tersendiri yang implementasinya sangat berbeda dengan Pegadaian konvensional. Lebih jauh tentang ketiga aspek tersebut, dipaparkan dalam uraian berikut.

4. Landasan Konsep
Sebagaimana halnya instritusi yang berlabel syariah, maka landasan konsep pegadaian Syariah juga mengacu kepada syariah Islam yang bersumber dari Al Quran dan Hadist Nabi SAW. Adapun landasan yang dipakai adalah :

a. Al-Quran Surat Al Baqarah : 283
Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan

b. Hadist
Aisyah berkata bahwa Rasul bersabda : Rasulullah membeli makanan dari seorang yahudi dan meminjamkan kepadanya baju besi. (HR Bukhari dan Muslim ).
Dari Abu Hurairah r.a. Nabi SAW bersabda : Tidak terlepas kepemilikan barang gadai dari pemilik yang menggadaikannya. Ia memperoleh manfaat dan menanggung risikonya. (HR Asy’Syafii, al Daraquthni dan Ibnu Majah).

Nabi Bersabda : Tunggangan ( kendaraan) yang digadaikan boleh dinaiki dengan menanggung biayanya dan bintanag ternak yang digadaikan dapat diperah susunya dengan menanggung biayanya. Bagi yang menggunakan kendaraan dan memerah susu wajib menyediakan biaya perawatan dan pemeliharaan. (HR Jamaah, kecuali Muslim dan An Nasai ).
` Dari Abi Hurairah r.a. Rasulullah bersabda : Apabila ada ternak digadaikan, maka punggungnya boleh dinaiki ( oleh yang menerima gadai), karena ia telah mengeluarkan biaya ( menjaga)nya. Apabila ternak itu digadaikan, maka air susunya yang deras boleh diminum (oleh orang yang menerima gadai) karena ia telah mengeluarkan biaya (menjaga)nya. Kepada orang yang naik dan minum, maka ia harus mengeluarkan biaya (perawatan)nya. (HR Jemaah kecuali Muslim dan Nasai-Bukhari).

Di samping itu, para ulama sepakat membolehkan akad Rahn ( al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adilatuhu, 1985,V:181) Landasan ini kemudian diperkuat dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional no 25/DSN-MUI/III/2002 tanggal 26 Juni 2002 yang menyatakan bahwa pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan utang dalam bentuk rahn diperbolehkan dengan ketentuan sebagai berikut :

a. Ketentuan Umum :
1.Murtahin (penerima barang) mempunya hak untuk menahan Marhun (barang) sampai semua utang rahin (yang menyerahkan barang) dilunasi.

2.Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik Rahin. Pada prinsipnya marhun tidak boleh dimanfaatkan oleh murtahin kecuali seizin Rahin, dengan tidak mengurangi nilai marhun dan pemanfaatannya itu sekedar pengganti biaya pemeliharaan perawatannya.

3.Pemeliharaan dan penyimpanan marhun pada dasarnya menjadi kewajiban rahin, namun dapat dilakukan juga oleh murtahin, sedangkan biaya dan pemeliharaan penyimpanan tetap menjadi kewajiban rahin.

4.Besar biaya administrasi dan penyimpanan marhun tidak boleh ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman.

5.Penjualan marhun
a.Apabila jatuh tempo, murtahin harus memperingatkan rahin untuk segera melunasi utangnya.
b.Apabila rahin tetap tidak melunasi utangnya, maka marhun dijual paksa/dieksekusi.
c.Hasil Penjualan Marhun digunakan untuk melunasi utang, biaya pemeliharaan dan penyimpanan yang belum dibayar serta biaya penjualan.
d. Kelebihan hasil penjualan menjadi milik rahin dan kekurangannya menjadi kewajiban rahin.

b. Ketentuan Penutup
1. Jika salah satu pihak tidak dapat menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan diantara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbritase Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.

2. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari terdapat kekeliruan akan diubah dan disempurnakan sebagai mana mestinya.

5. Teknik Transaksi
Sesuai dengan landasan konsep di atas, pada dasarnya Pegadaian Syariah berjalan di atas dua akad transaksi Syariah yaitu :

1.Akad Rahn. Rahn yang dimaksud adalah menahan harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya, pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya. Dengan akad ini Pegadaian menahan barang bergerak sebagai jaminan atas utang nasabah.

2.Akad Ijarah. Yaitu akad pemindahan hak guna atas barang dan atau jasa melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barangnya sendri. Melalui akad ini dimungkinkan bagi Pegadaian untuk menarik sewa atas penyimpanan barang bergerak milik nasabah yang telah melakukan akad.
Rukun dari akad transaksi tersebut meliputi :
a. Orang yang berakad :
1) Yang berhutang (rahin) dan
2) Yang berpiutang (murtahin).
b. Sighat (ijab qabul)
c. Harta yang dirahnkan (marhun)
d. Pinjaman (marhun bih)

Dari landasan Syariah tersebut maka mekanisme operasional Pegadaian Syariah dapat digambarkan sebagai berikut : Melalui akad rahn, nasabah menyerahkan barang bergerak dan kemudian Pegadaian menyimpan dan merawatnya di tempat yang telah disediakan oleh Pegadaian. Akibat yang timbul dari proses penyimpanan adalah timbulnya biaya-biaya yang meliputi nilai investasi tempat penyimpanan, biaya perawatan dan keseluruhan proses kegiatannya. Atas dasar ini dibenarkan bagi Pegadaian mengenakan biaya sewa kepada nasabah sesuai jumlah yang disepakati oleh kedua belah pihak.

Pegadaian Syariah akan memperoleh keutungan hanya dari bea sewa tempat yang dipungut bukan tambahan berupa bunga atau sewa modal yang diperhitungkan dari uang pinjaman.. Sehingga di sini dapat dikatakan proses pinjam meminjam uang hanya sebagai “lipstick” yang akan menarik minat konsumen untuk menyimpan barangnya di Pegadaian.
Adapun ketentuan atau persyaratan yang menyertai akad tersebut meliputi :
1. Akad. Akad tidak mengandung syarat fasik/bathil seperti murtahin mensyaratkan barang jaminan dapat dimanfaatkan tanpa batas.
2. Marhun Bih ( Pinjaman). Pinjaman merupakan hak yang wajib dikembalikan kepada murtahin dan bisa dilunasi dengan barang yang dirahnkan tersebut. Serta, pinjaman itu jelas dan tertentu.
3. Marhun (barang yang dirahnkan). Marhun bisa dijual dan nilainya seimbang dengan pinjaman, memiliki nilai, jelas ukurannya, milik sah penuh dari rahin, tidak terkait dengan hak orang lain, dan bisa diserahkan baik materi maupun manfaatnya.
4. Jumlah maksimum dana rahn dan nilai likuidasi barang yang dirahnkan serta jangka waktu rahn ditetapkan dalam prosedur.
5. Rahin dibebani jasa manajemen atas barang berupa : biaya asuransi,biaya penyimpanan,biaya keamanan, dan biaya pengelolaan serta administrasi.
Untuk dapat memperoleh layanan dari Pegadaian Syariah, masyarakat hanya cukup menyerahkan harta geraknya ( emas, berlian, kendaraan, dan lain-lain) untuk dititipkan disertai dengan copy tanda pengenal. Kemudian staf Penaksir akan menentukan nilai taksiran barang bergerak tersebut yang akan dijadikan sebagai patokan perhitungan pengenaan sewa simpanan (jasa simpan) dan plafon uang pinjaman yang dapat diberikan. Taksiran barang ditentukan berdasarkan nilai intrinsik dan harga pasar yang telah ditetapkan oleh Perum Pegadaian. Maksimum uang pinjaman yang dapat diberikan adalah sebesar 90% dari nilai taksiran barang.

Setelah melalui tahapan ini, Pegadaian Syariah dan nasabah melakukan akad dengan kesepakatan :
1. Jangka waktu penyimpanan barang dan pinjaman ditetapkan selama maksimum empat bulan.
2. Nasabah bersedia membayar jasa simpan sebesar Rp 90,- (sembilan puluh rupiah) dari kelipatan taksiran Rp 10.000,- per 10 hari yang dibayar bersamaan pada saat melunasi pinjaman.
3. Membayar biaya administrasi yang besarnya ditetapkan oleh Pegadaian pada saat pencairan uang pinjaman.
Nasabah dalam hal ini diberikan kelonggaran untuk :
• melakukan penebusan barang/pelunasan pinjaman kapan pun sebelum jangka waktu empat bulan,
• mengangsur uang pinjaman dengan membayar terlebih dahulu jasa simpan yang sudah berjalan ditambah bea administrasi,
• atau hanya membayar jasa simpannya saja terlebih dahulu jika pada saat jatuh tempo nasabah belum mampu melunasi pinjaman uangnya.
Jika nasabah sudah tidak mampu melunasi hutang atau hanya membayar jasa simpan, maka Pegadaian Syarian melakukan eksekusi barang jaminan dengan cara dijual, selisih antara nilai penjualan dengan pokok pinjaman, jasa simpan dan pajak merupakan uang kelebihan yang menjadi hak nasabah. Nasabah diberi kesempatan selama satu tahun untuk mengambil Uang kelebihan, dan jika dalam satu tahun ternyata nasabah tidak mengambil uang tersebut, Pegadaian Syariah akan menyerahkan uang kelebihan kepada Badan Amil Zakat sebagai ZIS.

B.6. Pendanaan
Aspek syariah tidak hanya menyentuh bagian operasionalnya saja, pembiayaan kegiatan dan pendanaan bagi nasabah, harus diperoleh dari sumber yang benar-benar terbebas dari unsur riba. Dalam hal ini, seluruh kegiatan Pegadaian syariah termasuk dana yang kemudian disalurkan kepada nasabah, murni berasal dari modal sendiri ditambah dana pihak ketiga dari sumber yang dapat dipertanggungjawabkan. Pegadaian telah melakukan kerja sama dengan Bank Muamalat sebagai fundernya, ke depan Pegadaian juga akan melakukan kerjasama dengan lembaga keuangan syariah lain untuk memback up modal kerja.
Dari uraian ini dapat dicermati perbedaan yang cukup mendasar dari teknik transaksi Pegadaian Syariah dibandingkan dengan Pegadaian konvensional, yaitu :
1. Di Pegadaian konvensional, tambahan yang harus dibayar oleh nasabah yang disebut sebagai sewa modal, dihitung dari nilai pinjaman.
2. Pegadaian konvensional hanya melakukan satu akad perjanjian : hutang piutang dengan jaminan barang bergerak yang jika ditinjau dari aspek hukum konvensional, keberadaan barang jaminan dalam gadai bersifat acessoir, sehingga Pegadaian konvensional bisa tidak melakukan penahanan barang jaminan atau dengan kata lain melakukan praktik fidusia. Berbeda dengan Pegadaian syariah yang mensyaratkan secara mutlak keberadaan barang jaminan untuk membenarkan penarikan bea jasa simpan.

C. KESIMPULAN
a. Pemikiran tentang berdirinya pegadaian syariah adalah merupakan tanda syukur kita kehadirat Allah SWT yang telah memberikan nikmat iman Islam dan telah diijinkannya oleh Pemerintah berdirinya lembaga-lembaga keuangan yang beroperasi sesuai dengan prinsip syariat Islam.
b. Pegadaian syariah mempunyai landasan hukum syariat yang kuat dalam ajaran Islam. Hal-hal yang perlu mendapat perhatian adalah unsur-unsur gadai, rukun dan sahnya akad, barang yang boleh digadaikan, hak dan kewajiban masing-masing pihak, dan pemilikan barang gadai.
c. Barang gadaian syariah adalah merupakan pelengkap belaka dari konsep hutang piutang antara individu atau perorangan. Konsep hutang piutang sesuai dengan syariat adalah merupakan salah satu konsep ekonomi Islam dimana bentuknya yang lebih tepat adalah al-qardhul hassan.
d. Hutang piutang dalam bentuk al-qardhul hassan dengan dukungan gadai (rahn), dapat dipergunakan unutk keperluan sosial maupun komersial. Peminjam mempunyai dua pilihan, yaitu : dapat memilih qardhul hassan atau menerima pemberi pinjaman atau penyandang dana (rabb al-mal) sebagai mitra usaha dalam perjanjian mudharabah.
e. Untuk nasabah yang memilih pinjaman gadai dalam bentuk mudharabah maka fungsi gadai disini adalah mencairkan atau memproduktifkan (dishoarding) harta beku (hoarding) yang tidak produktif.
f. Lembaga gadai syariah perusahaan bertindak sebagai penyandang dana atau rabb almal sedang nasabahnya bisa bertindak sebagai rahin atau bisa juga bertindak sebagai mudharib tergantung alternatif yang dipilih.
g. Lembaga gadai syariah untuk hubungan antar pribadi sebenarnya sudah operasional karena setiap orang bisa melakukan perjanjian hutang piutang dengan gadai syariah.





Selengkapnya...

03 April, 2009

Riba (Syariah)

Bunga Dan Riba
Pengertian Bunga dan Riba
Secara leksikal, bunga sebagai terjemahan dari kata interest. Secara istilah sebagaimana diungkapkan dalam suatu kamus dinyatakan, bahwa interest is a charge for a financial loan, usually a percentage of the amount loaned. Bunga adalah tanggungan pada pinjaman uang, yang biasanya dinyatakan dengan persentase dari uang yang dipinjamkan .



Dan menurut Kamus Istilah Akuntansi Syari’ah, bunga berarti tambahan biaya yang dibebankan akibat dari adanya suatu pinjaman atau utang yang besarnya ditunjukkan dengan suatu persentase dari pinjaman tersebut yang telah disepakati oleh kedua belah pihak.
Adapun pengertian riba pada hakekatnya tidaklah jauh berbeda dengan pengertian bunga di atas. Riba = ziyadah, berarti: bertumbuh, menambah atau berlebih. Al-Riba atau ar-Rima makna asalnya ialah tambah, tumbuh dan subur. Dan dalam Kamus Istilah Akuntansi Syari’ah yang dikatakan dengan riba secara bahasa adalah ziyadah: tambahan, tumbus, membesar. Dan pengertiannya menurut istilah adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam meminjam secara bathil atau bertentangan dengan prinsip muamalah dalam Islam.
Riba sering diterjemahkan orang dalam bahasa Inggris sebagai “usury” yang artinya “the act of lending money at an exorbitant or illegal rate of interest”. Sementara para ulama fiqih mendefinisikan riba dengan “kelebihan harta dalam suatu muamalah dengan tidak ada imbalan/gantinya”. Maksud dari perkataan ini adalah tambahan terhadap modal uang yang timbul akibat transaksi utang piutang yang harus terutang kepada pemilik uang pada saat utang jatuh tempo. Aktivitas semacam ini berlaku luas di kalangan masyarakat Yahudi sebelum datangnya Islam, sehingga masyarakat Arab pun sebelum dan pada masa awal Islam melakukan muamalah dengan cara tersebut.
Oleh karena itu, apabila kita menarik pelajaran sejarah masyarakat Barat, maka terlihat jelas bahwa sebenarnya interest dan usury yang kita kenal saat ini pada hakekatnya adalah sama. Keduanya berarti tambahan uang, umumnya dalam persentase.
Istilah “usury” muncul karena belum mapannya pasar keuangan pada masa itu sehingga penguasa harus menetapkan suatu tingkat bunga yang dianggap wajar. Namun setelah mapannya lembaga dan pasar keuangan, kedua istilah itu menjadi hilang karena hanya ada satu tingkat bunga di pasar sesuai dengan hukum permintaan dan penawaran.

Apakah Bunga Sama Dengan Riba?
Untuk menjawab pertanyaan ini, maka penulis merujuk kepada makalah yang pernah disampaikan oleh bapak H. Karnaen A. Perwata Atmadja. . Menurutnya ada dua pendekatan untuk memahami apakah bunga sama dengan riba, yaitu:

1. Pendekatan secara epistemology (asal usul bahasa).

a. Definisi bunga (terjemahan dari interest).
1) The American Heritage DICTIONARY of the English Language : Interest is "A charge for a financial loan, usually a precentage of the amount loaned ".
2) KAMUS EKONOMI (Inggris - Indonesia), Prof. DR. Winardi, SE.: Interest (net) - Bunga modal (netto). Pembayaran untuk penggunaan dana-dana.
Diterangkan dengan macam-macam cara seperti misalnya :
a) Balas jasa untuk pengorbanan (ber)konsumsi atas pendapatan yang dicapai (diperoleh) waktu sekarang (contoh : teori abstinense).

b) Pendapatan orang yang berbeda (mengenai) preferensi likwiditas(nya (yang menyesuaikan) terhadap harga (yang berlaku).

c) Harga yang dinilai lebih tinggi (mengatasi terhadap) masa sekarang atas masa yang akan datang (preferensi waktu).

d) Pengukuran produktifitas macam-macam investasi (efisiensi marginal modal)

e) Harga yang menyesuaikan pemintaan dan penawaran akan dana-dana yang dipinjamkan (teori dana yang dipinjamkan)

b. Definisi dari riba (terjemahan dari usury) :
1) The American Heritage DICTIONARY of the English Language :
Usury is “The act or practise of lending money at an exorbitant or ilegal rete of interest “ or “Such an excessive rate of interest”.
DR. Perry Warjiyo dalam makalahnya pernah mengatakan:
"Dari pelajaran sejarah masyarakat barat, terlihat jelas bahwa "interest" dan "usury" yang kita kenal saat ini pada hakekatnya adalah sama. Keduanya berarti tambahan uang, umumnya dalam persentase. Istilah "usury" muncul karena belum mapannya pasar keuangan pada zaman itu sehingga penguasa harus menetapkan suatu tingkat bunga yang dianggap "wajar". Namun setelah mapannya lembaga dan pasar keuangan, kedua istilah itu menjadi hilang karena hanya ada satu tingkat bunga di pasar sesuai dengan hukum permintaan dan penawaran""
(Catatan : Di Indonesia, sebelum Deregulasi 1 Juni 1983 Pemerintah menetapkan tingkat bunga bank, tetapi sesudah itu hingga sekarang suku bunga ditetapkan oleh hukum permintaan dan penawaran.)

c. Definisi riba dari bahasa Arab :
Ensiklopedi ISLAM Indonesia, Tim Penulis IAIN SYARIF HIDAYATULLAH.
Al-Riba atau Ar-Rima makna asalnya ialah tambah, tumbuh dan subur. Adapun pengertian tambah dalam konteks riba ialah tambahan uang atas modal yang diperoleh dengan cara yang tidak dibenarkan syara’, apakah tambahan itu berjumlah sedikit maupun berjumlah banyak seperti yang diisyaratkan dalam Al-Qur'an.

d. Pendekatan dari tanda-tanda dan arah yang dimaksud riba pada ayat-ayat Al Qur’an :

1) Dengan memeriksa ayat-ayat larangan riba dalam Al-Qur'an dan Hadis, dapat diketahui bahwa larangan riba hampir selalu diawali dengan kata "al" yang artinya menunjuk kepada praktek riba yang telah dilakukan dan sudah cukup dikenal pada waktu itu.

2) Bagaimana praktek riba yang dilakukan pada waktu itu dapat diikuti hasil penelitian Anwar Iqbal Quresi, dalam bukunya sebagai berikut:
a) Seseorang menjual sesuatu kepada orang lain dengan perjanjian bahwa pembayarannya akan dilakukan pada suatu tanggal yang telah disetujui bersama. Apabila pembeli kemudian tidak dapat membayarnya pada tanggal yang telah disetujui itu, suatu "waktu lenggang" diberikan asalkan pembeli setuju untuk membayar jumlah yang lebih besar dari harga semula.

b) Seseorang meminjamkan sejumlah uang selama suatu jangka waktu tertentu dengan syarat bahwa pada saat jatuh temponya nanti si peminjam membayar "pokok modal" bersama suatu jumlah tetap "riba" atau "tambahan".

c) Si peminjam dan pemberi pinjaman setuju atas suatu tingkat "riba" tertentu selama suatu jangka waktu tertentu. Apabila setelah jangka waktu tersebut si peminjam tidak dapat melunasi hutangnya beserta jumlah tambahannya, ia kemudian diharuskan membayar suatu tingkat kenaikan "riba" sebagai tambahan "waktu lenggang".

e. Pendekatan dari Hadits Rasulullah SAW:
Rasulullah melarang mengambil hadiah, jasa atau pertolongan sekecil apapun sebagai syarat atas suatu pinjaman. Tambahan yang tidak sama dengan praktek yang ditunjukkan tersebut diatas tidak termasuk riba yang diharamkan, sebagaimana dicontohkan dalam sebuah Hadist :
Dari Abu Rafi’ r.a., katanya Rasulullah SAW pernah meminjam unta muda usia kepada seseorang. Setelah itu, ada orang mengantarkan unta sedekah kepada beliau. Lalu Nabi SAW menyuruh Abu Rafi’ membayar unta muda yang dipinjamnya. Abu Rafi’ mengatakan kepada beliau : “Ya Rasulullah, belum ada unta muda, yang ada hanyalah unta pilihan yang telah dewasa. “Sabda beliau : “Berikanlah itu ! Sebaik-baik manusia, ialah yang mengutamakan pelunasan suatu hutang”.
Dari Hadist tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa sesuatu tambahan tidak termasuk riba apabila :
1. Tambahan itu tidak disyaratkan dimuka atau tidak dijanjikan terlebih dahulu,
2. Tambahan itu inisiatifnya datang dari peminjam,
3. Inisiatif memberikan tambahan itu timbul pada waktu jatuh tempo.
2. Pendekatan proses pembungaan uang dan akibatnya

Adapun pembahasan mengenai masalah ini, maka alangkah lebih baiknya kalau kita melihat langsung makalah yang penulis maksud di awal tadi. Hal ini mengingat penjelasannya dalam bentuk gambar dan diagram.
Riba Dalam Perspektif Agama

1. Non-Muslim
Riba bukan hanya merupakan persoalan masyarakat Islam, tetapi berbagai kalangan di luar Islam juga serius dalam memandang persoalan ini. Karena itu, kajian mengenai riba ini dapat dirunut mundur hingga lebih dari 200 tahun silam. Masalah riba telah menjadi bahan pembahasan kalangan Yahudi, Yunani, demikian juga Romawi Kalangan Kristen dari masa ke masa juga mempunyai pandangan tersendiri mengenai riba.
• Konsep bunga di kalangan Yahudi
Orang-orang Yahudi dilarang mempraktekkan pengambilan bunga. Pelarangan ini banyak terdapat dalam kitab suci mereka, baik dalam Old Testament (Perjanjian Lama) maupun Undang-Undang Talmud.
Kitab Exodus (Keluaran) pasal 22 ayat 25 menyatakan:
“Jika engkau meminjamkan uang kepada salah seorang umatku, orang yang miskin di antara kamu, maka janganlah engkau berlaku sebagai penagih hutang terhadap dia, janganlah engkau bebankan bunga terhadapnya”.
Kitab Deutoronomy (Ulangan) pasal 23 ayat 19 menyatakan:
“Janganlah engkau membungakan kepada saudaramu, baik uang maupun bahan makanan, atau apapun yang dapat dibungakan” .


• Konsep bunga di kalangan Yunani dan Romawi
Pada masa Yunani, sekitar abad VI SM hingga 1 M, telah terdapat beberapa jenis bunga. Besarnya bunga tersebut bervariasi tergantung kegunaannya. Secara umum, nilai bunga tersebut dikategorikan sebagai berikut:
Pinjaman Biasa 6% - 18%
Pinjaman Property 6% - 12%
Pinjaman Antar Kota 7% - 12%
Pinjaman Perdagangan dan Industri 12% - 18%
Pada masa Romawi, sekitar abad V SM – IV M, terdapat UU yang membenarkan penduduknya mengambil selama tingkat bunga tersebut sesuai dengan tingkat maksimal yang dibenarkan hukum (maximum legal rate).
Nilai suku ini berubah-ubah dari waktu ke waktu. Meskipun UU membenarkan pengambilan bunga, tetapi pengambilannya tidak dibenarkan dengan cara bunga berbunga (double countable).
Pada masa pemerintahan Genucia (342 SM), kegiatan pengambilan bunga tidak diperbolehkan. Tetapi pada masa Unciaria (88 SM), praktek tersebut diperbolehkan kembali seperti semula.
Meskipun demikian, praktek pengambilan bunga dicela oleh para ahli filsafat. Dua orang ahli filsafat Yunani terkemuka, Plato (427-347 SM) dan Aristoteles (384-322 SM) mengecam praktek bunga. Begitu juga dengan Cato (234-149 SM) dan Cicero (106-43 SM) para ahli filsafat mengutuk orang-orang Romawi yang mempraktekkan pengambilan bunga.
• Konsep bunga di kalangan Kristen
Kitab Perjanjian Baru tidak menyebutkan permasalahan ini secara jelas. Namun sebagian kalangan Kristiani menganggap bahwa ayat yang terdapat dalam Lukas 6 ; 34-5 sebagai ayat yang mengecam praktek pengambilan bunga. Ayat tersebut mengatakan:
“Dan jikalau kamu meminjamkan sesuatu kepada orang, karena kamu berharap akan menerima sesuatu dari padanya, apakah jasamu? Orang-orang berdosa pun meminjamkan kepada orang yang berdosa, supaya mereka menerima kembali sama banyak. Tetapi kasihilah musuhmu dan berbuatlah baik kepada mereka dan pinjamkan dengan tidak mengharafkan balasan, maka upahmu akan besar dan kamu akan menjadi anak-anak Tuhan Yang Maha Tinggi, sebab ia baik terhadap orang-orang yang tidak tahu berterima kasih dan terhadap orang-orang jahat”.
Ketidaktegasan ayat tersebut mengakibatkan munculnya berbagai tanggapan dan tafsiran dari para pemuka agama Kristen tentang boleh atau tidaknya orang Kristen mempraktekkan pengambilan bunga. Berbagai pandangan di kalangan agama Kristen dapat dikelompokkan menjadi tiga periode utama, yaitu pandangan para pendeta awal Kristen (abad I- XII), yang mengharamkan bunga, pandangan para sarjana kristen (abad XII- XVI) yang berkeinginan agar bunga diperbolehkan, dan pandangan para reformis Kristen (abad XVI- tahun 1836) yang menyebabkan agama Kristen menghalalkan bunga.

2. Islam
Dalam agama Islam, terdapat beberapa dalil Al-Qur’an yang melarang sistem riba. Namun demikian, Allah SWT menurunkan risalah larangan praktek riba dengan menggunakan empat tahapan, yakni:

1. Allah memberikan pengertian bahwa riba tidak akan menambah kebaikan di sisi-Nya. Allah berfirman:

“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, Maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, Maka (yang berbuat demikian) Itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya). (QS. Ar-Ruum : 39)

2. Allah memberikan gambaran siksa bagi Yahudi dengan salah satu karakternya, yaitu suka makan riba. Allah SWT berfirman:
Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, kami haramkan atas (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan Karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah,
Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal Sesungguhnya mereka Telah dilarang daripadanya, dan Karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. kami Telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.
(QS. An-Nisa’ : 160-161)

3. Allah SWT telah melarang memakan riba yang berlipat ganda. Allah SWT berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. (QS. Ali Imron : 130)

4. Allah SWT melarang dengan keras dan tegas semua jenis riba. Allah SWT berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman..
Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka Ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya”.
(QS. Albaqarah :278-279).

Untuk memperjelas bahwa riba itu dilarang dan bahkan diharamkan, terdapat beberapa hadist yang menyatakan hal tersebut:
1. Rasulullah SAW bersabda:
“Riba itu mempunyai 37 tingkatan, yang paling rendah (dosanya) sama dengan seseorang melakukan zina dengan ibunya”. (Muttafaqun ‘alaihi)
2. Diriwayatkan oleh Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Tuhan sesungguhnya berlaku adil karena tidak membenarkan empat golongan memasuki surga atau tidak mendapat petunjuk, yakni peminum arak, pemakan harta anak yatim, dan mereka yang menelantarkan ibu/bapaknya”. (Muttafaqun ‘alaihi)
3. Dari Ibnu Abbas dari Nabi SAW, beliau bersabda:
“Jika telah muncul wabah zina dan riba di suatu negeri, maka berarti mereka telah siapmenanti kedatangan azab dari Allah”. (Muttafaqun ‘alaihi)

Jenis-jenis Riba

Secara garis besar riba dikelompokkan menjadi dua. Masing-masing adalah riba utang piutang dan riba jual-beli. Kelompok pertama trbagi klagi menjadi riba qardh dan riba jahiliyah. Sedangkan kelompok kedua, riba jual-beli terbagi lagi menjadi riba fadhl dan riba nasi’ah. Ibnu Hajar menjelaskan pembagian riba tersebut serta hukumnya dengan mengatakan,”Bahwa riba itu terdiri dari tiga jenis yaitu, yaitu riba fadli, riba riba al-yaad dan riba nasi’ah. Al-Mutawali menambahkan jenis ke empat, yaitu riba al-qardh. Beliau juga mengatakan bahwa semua jenis ini diharamkan secara ijma’ berdasarkan nash Al-Qur’an dan hadist Nabi”, (az-Zawajir, II/205). Adapun barang-barang yang diklasifikasikan ke dalam jenis barang yang dapat di gunakan dalam praktek riba yaitu” a) emas dan perak, baik dalam bentuk mata uang ataupun lainnya, b) bahan makanan pokok seperti beras, gandum, dan sebagainya .
Ketetapan Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (MUI)
Dewan Syariah Nasional, Majelis Ulama Indonesia telah mengeluarkan fatwa Nomor 01/DSN-MUI/IV/2000 tentang Giro, Nomor 02/DSN-MUI/IV/ 2000 tentang Tabungan, dan Nomor 03/DSN-MUI/IV/2000 tentang Deposito, yang menetapkan bahwa Giro, Tabungan, dan Deposito tidak dibenarkan secara syariah apabila berdasarkan perhitungan bunga. Sedangkan Giro, Tabungan, dan Deposito yang dibenarkan secara syariah ialah yang didasarkan prinsip mudharabah dan/atau wadiah .
Keputusan Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia tentang Fatwa Bunga (Interest/Fa-idah) tanggal 22 Syawal 1424 atau 16 Desember 2003, antara lain : Praktek pembungaan uang saat ini telah memenuhi kriteria riba yang terjadi pada zaman Rasulullah SAW, yakni riba nasi’ah. Dengan demikian praktek pembungaan uang ini termasuk salah satu bentuk riba, dan haram hukumnya. Praktek pembungaan uang ini banyak dilakukan oleh Bank, Asuransi, Pasar Modal, Pegadaian, Koperasi, dan Lembaga Keuangan lainnya termasuk juga oleh individu.
Pertimbangan dari Majelis Ulama Indonesia untuk mengeluarkan fatwa bahwa bunga bank adalah haram, merupakan suatu proses yang cukup panjang. Banyak hal yang dipertimbangkan dari cara pengambilan keputusan tersebut, tidak terkecuali tentang kesiapan infrastruktur yang ada jika nantinya bunga bank telah diharamkan, juga mengenai mudharat dan maslahahnya.
Jadi, Bunga Bank = Riba?
Jawaban terhadap persoalan sub pokok bahasan ini, akan lebih rinci apabila dikembalikan kepada pandangan tentang adanya kesamaan antara praktek bunga dengan riba yang diharamkan dalam Al-Qur’an dan Hadits. Kesamaan ini sulit dibantah, apalagi secara nyata aplikasi sistem bunga pada perbankan lebih banyak dirasakan mudharatnya dari pada manfaatnya. Kemudharatan sistem bunga sehingga dikategorikan sebagai riba, karena ada unsur yang dilarang menurut agama atau menyebabkan kesengsaraan secara ekonomi bagi pihak yang melakukan peminjaman dengan bunga.
Kesimpulan
Persoalan riba telah ada sejak orang mulai berbicara tentang hubungan perdagangan dan keuangan. Riba adalah tambahan yang dilakukan secara bathil, sangat mempengaruhi pelakunya dalam sisi ekonomi maupun sosial. Secara ekonomi, riba dapat menimbulkan inflasi ekonomi, sebagai akibat dari bunga sebagai biaya uang. Hal tersebut disebabkan karena salah satu elemen dari penentuan harga adalah suku bunga. Semakin tinggi suku bunga, semakin tinggi juga harga yang akan ditetapkan pada suatu barang. Dampak lainnya adalah bahwa hutang, dengan rendahnya tingkat penerimaan peminjam dan tingginya biaya bunga, akan menjadikan peminjam tidak pernah keluar dari ketergantungan, terlebih lagi bila bunga atas hutang tersebut dibungakan.
Dari sisi kemasyarakatan (sosial), riba merupakan pendapatan yang didapat secara tidak adil (bathil). Para pengambil riba menggunakan uangnya untuk memerintahkan orang lain agar berusaha dan mengembalikan misalnya 25% lebih dari jumlah yang dipinjamkannya. Persoalannya, siapa yang bisa menjamin bahwa usaha yang dijalankan oleh orang itu nantinya akan mendapatkan keuntungan lebih dari 25%.
Semua orang tahu, bahwa siapapun tidak bisa memastikan apa yang terjadi esok atau lusa. Siapapun tahu, bahwa berusaha memiliki dua kemungkinan, yaitu berhasil atau gagal. Dengan menetapkan riba, berarti orang sudah memastikan bahwa usahanya pasti berhasil (untung).


DAFTAR PUSTAKA
Buku-buku:
Utomo, Setiawan Budi, 2003, Fiqih Aktual Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer, Jakarta: Gema Insani Press

Rahmawan, A Ivan, 2005, Kamus Istilah Akuntansi Syari’ah, Yogyakarta: Pilar Media

Adityangga, Krishna, 2006, Membumikan Ekonomi Islam, Yogyakarta: Pilar Media

Muhamad, 2002, Manajemen Bank Syari’ah, Yogyakarta: UPP AMP YKPN


Artikel:

Perwataatmaja, Karnaen A, Sekitar Kontroversi Bunga Bank dan Riba

Selengkapnya...

About This Blog

Lorem Ipsum

Terima Kasih Atas Kunjungan Anda

  © Blogger templates Shiny by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP