10 April, 2009

Ar-Rahn/Pegadaian Syariah

Pengertian
Banyak negara yang telah dapat mencapai kemakmurannya dengan sistem bunga ini di atas kemiskinan negara lain sehingga terus – menerus terjadi kesenjangan. Pengalaman dibawah dominasi perekonomian dengan sistem bunga selama ratusan tahun membuktikan ketidak – mampuannya untuk menjembatani kesenjangan ini. Didunia, diantara negara maju dan negara berkembang kesenjangan itu semakin lebar sedang didalam Negara berkembang, kesenjangan itupun semakin dalam.

Karena ketidak sadaran akan besarnya kelemahan sistem bunga, Pemerintah di negara – negara itu menjadi sibuk menambalnya dengan berbagai kebijaksanaan dan peraturan yang memaksa para pelaku ekonomi yang di untungkan sistem bunga agar menaruh peduli kepada pelaku ekonomi yang dirugikan sistem bunga itu. Tetapi para pelaku ekonomi yang diuntungkan sistem bunga dan telah menjadi konglomerat itu kebanyakan lebih merasakannya sebagai paksaan daripada kewajiban.
Sebagian umat Islam di Indonesia yang mampu mensyukuri nikmat Allah itu mulai memanfaatkan peluang tersebut dengan mendukung berdirinya bank syariah, asuransi syariah, dan reksadana syariah dalam bentuk menjadi pemegang saham, menjadi penabung dan nasabah, menjadi pemegang polis, menjadi investor, dan sebagainya. Lebih dari itu banyak pula yang secara kreatif mengembangkan ide untuk berdirinya lembaga – lembaga keuangan syariah bukan bank lainnya seperti : modal ventura, leasing, dan pegadaian.
Pegadaian syariah atau dikenal dengan istilah rahn, dalam pengoperasiannya menggunakan metode Fee Based Income (FBI) atau Mudharobah (bagi hasil). Karena nasabah dalam mempergunakan marhumbih (UP) mempunyai tujuan yang berbeda-beda misalnya untuk konsumsi, membayar uang sekolah atau tambahan modal kerja, penggunaan metode Mudharobah belum tepat pemakaiannya. Oleh karenanya, pegadaian menggunakan metode Fee Based Income (FBI). Sebagai penerima gadai atau disebut Mutahim, penggadaian akan mendapatkan Surat Bukti Rahn (gadai) berikut dengan akad pinjam-meminjam yang disebut Akad Gadai Syariah dan Akad Sewa Tempat (Ijarah). Dalam akad gadai syariah disebutkan bila jangka waktu akad tidak diperpanjang maka penggadai menyetujui agunan (marhun) miliknya dijual oleh murtahin guna melunasi pinjaman. Sedangkan Akad Sewa Tempat (ijarah) merupakan kesepakatan antara penggadai dengan penerima gadai untuk menyewa tempat untuk penyimpanan dan penerima gadai akan mengenakan jasa simpan.

1. Pengertian
Menurut bahasa, “rahn” berarti

pemenjaraan
. Misalnya perkataan mereka (orang Arab), “rahanasy syai-a” artinya apabila sesuatu itu terus menerus dan menetap. Allah berfirman: “Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas perbuatannya.” (QS Al-Muddatsir: 38).
Adapun menurut istilah syara’, kata rahn ialah memperlakukan harta sebagai jaminan atas hutang yang dipinjam, supaya dianggap sebagai pembayaran manakala yang berhutang tidak sanggup melunasi hutangnya. (Fathul Bari V: 140 dan Manarus Sabil I: 351).

2. Lahirnya Pegadaian Syariah
Terbitnya PP/10 tanggal 1 April 1990 dapat dikatakan menjadi tonggak awal kebangkitan Pegadaian, satu hal yang perlu dicermati bahwa PP10 menegaskan misi yang harus diemban oleh Pegadaian untuk mencegah praktik riba, misi ini tidak berubah hingga terbitnya PP103/2000 yang dijadikan sebagai landasan kegiatan usaha Perum Pegadaian sampai sekarang. Banyak pihak berpendapat bahwa operasionalisasi Pegadaian pra Fatwa MUI tanggal 16 Desember 2003 tentang Bunga Bank, telah sesuai dengan konsep syariah meskipun harus diakui belakangan bahwa terdapat beberapa aspek yang menepis anggapan itu. Berkat Rahmat Allah SWT dan setelah melalui kajian panjang, akhirnya disusunlah suatu konsep pendirian unit Layanan Gadai Syariah sebagai langkah awal pembentukan divisi khusus yang menangani kegiatan usaha syariah.
Konsep operasi Pegadaian syariah mengacu pada sistem administrasi modern yaitu azas rasionalitas, efisiensi dan efektifitas yang diselaraskan dengan nilai Islam. Fungsi operasi Pegadaian Syariah itu sendiri dijalankan oleh kantor-kantor Cabang Pegadaian Syariah/ Unit Layanan Gadai Syariah (ULGS) sebagai satu unit organisasi di bawah binaan Divisi Usaha Lain Perum Pegadaian. ULGS ini merupakan unit bisnis mandiri yang secara struktural terpisah pengelolaannya dari usaha gadai konvensional. Pegadaian Syariah pertama kali berdiri di Jakarta dengan nama Unit Layanan Gadai Syariah ( ULGS) Cabang Dewi Sartika di bulan Januari tahun 2003. Menyusul kemudian pendirian ULGS di Surabaya, Makasar, Semarang, Surakarta, dan Yogyakarta di tahun yang sama hingga September 2003. Masih di tahun yang sama pula, 4 Kantor Cabang Pegadaian di Aceh dikonversi menjadi Pegadaian Syariah.

3. Operasionalisasi Pegadaian Syariah
Implementasi operasi Pegadaian Syariah hampir bermiripan dengan Pegadaian konvensional. Seperti halnya Pegadaian konvensional , Pegadaian Syariah juga menyalurkan uang pinjaman dengan jaminan barang bergerak. Prosedur untuk memperoleh kredit gadai syariah sangat sederhana, masyarakat hanya menunjukkan bukti identitas diri dan barang bergerak sebagai jaminan, uang pinjaman dapat diperoleh dalam waktu yang tidak relatif lama (kurang lebih 15 menit saja). Begitupun untuk melunasi pinjaman, nasabah cukup dengan menyerahkan sejumlah uang dan surat bukti rahn saja dengan waktu proses yang juga singkat.
Di samping beberapa kemiripan dari beberapa segi, jika ditinjau dari aspek landasan konsep; teknik transaksi; dan pendanaan, Pegadaian Syariah memilki ciri tersendiri yang implementasinya sangat berbeda dengan Pegadaian konvensional. Lebih jauh tentang ketiga aspek tersebut, dipaparkan dalam uraian berikut.

4. Landasan Konsep
Sebagaimana halnya instritusi yang berlabel syariah, maka landasan konsep pegadaian Syariah juga mengacu kepada syariah Islam yang bersumber dari Al Quran dan Hadist Nabi SAW. Adapun landasan yang dipakai adalah :

a. Al-Quran Surat Al Baqarah : 283
Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan

b. Hadist
Aisyah berkata bahwa Rasul bersabda : Rasulullah membeli makanan dari seorang yahudi dan meminjamkan kepadanya baju besi. (HR Bukhari dan Muslim ).
Dari Abu Hurairah r.a. Nabi SAW bersabda : Tidak terlepas kepemilikan barang gadai dari pemilik yang menggadaikannya. Ia memperoleh manfaat dan menanggung risikonya. (HR Asy’Syafii, al Daraquthni dan Ibnu Majah).

Nabi Bersabda : Tunggangan ( kendaraan) yang digadaikan boleh dinaiki dengan menanggung biayanya dan bintanag ternak yang digadaikan dapat diperah susunya dengan menanggung biayanya. Bagi yang menggunakan kendaraan dan memerah susu wajib menyediakan biaya perawatan dan pemeliharaan. (HR Jamaah, kecuali Muslim dan An Nasai ).
` Dari Abi Hurairah r.a. Rasulullah bersabda : Apabila ada ternak digadaikan, maka punggungnya boleh dinaiki ( oleh yang menerima gadai), karena ia telah mengeluarkan biaya ( menjaga)nya. Apabila ternak itu digadaikan, maka air susunya yang deras boleh diminum (oleh orang yang menerima gadai) karena ia telah mengeluarkan biaya (menjaga)nya. Kepada orang yang naik dan minum, maka ia harus mengeluarkan biaya (perawatan)nya. (HR Jemaah kecuali Muslim dan Nasai-Bukhari).

Di samping itu, para ulama sepakat membolehkan akad Rahn ( al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adilatuhu, 1985,V:181) Landasan ini kemudian diperkuat dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional no 25/DSN-MUI/III/2002 tanggal 26 Juni 2002 yang menyatakan bahwa pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan utang dalam bentuk rahn diperbolehkan dengan ketentuan sebagai berikut :

a. Ketentuan Umum :
1.Murtahin (penerima barang) mempunya hak untuk menahan Marhun (barang) sampai semua utang rahin (yang menyerahkan barang) dilunasi.

2.Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik Rahin. Pada prinsipnya marhun tidak boleh dimanfaatkan oleh murtahin kecuali seizin Rahin, dengan tidak mengurangi nilai marhun dan pemanfaatannya itu sekedar pengganti biaya pemeliharaan perawatannya.

3.Pemeliharaan dan penyimpanan marhun pada dasarnya menjadi kewajiban rahin, namun dapat dilakukan juga oleh murtahin, sedangkan biaya dan pemeliharaan penyimpanan tetap menjadi kewajiban rahin.

4.Besar biaya administrasi dan penyimpanan marhun tidak boleh ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman.

5.Penjualan marhun
a.Apabila jatuh tempo, murtahin harus memperingatkan rahin untuk segera melunasi utangnya.
b.Apabila rahin tetap tidak melunasi utangnya, maka marhun dijual paksa/dieksekusi.
c.Hasil Penjualan Marhun digunakan untuk melunasi utang, biaya pemeliharaan dan penyimpanan yang belum dibayar serta biaya penjualan.
d. Kelebihan hasil penjualan menjadi milik rahin dan kekurangannya menjadi kewajiban rahin.

b. Ketentuan Penutup
1. Jika salah satu pihak tidak dapat menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan diantara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbritase Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.

2. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari terdapat kekeliruan akan diubah dan disempurnakan sebagai mana mestinya.

5. Teknik Transaksi
Sesuai dengan landasan konsep di atas, pada dasarnya Pegadaian Syariah berjalan di atas dua akad transaksi Syariah yaitu :

1.Akad Rahn. Rahn yang dimaksud adalah menahan harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya, pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya. Dengan akad ini Pegadaian menahan barang bergerak sebagai jaminan atas utang nasabah.

2.Akad Ijarah. Yaitu akad pemindahan hak guna atas barang dan atau jasa melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barangnya sendri. Melalui akad ini dimungkinkan bagi Pegadaian untuk menarik sewa atas penyimpanan barang bergerak milik nasabah yang telah melakukan akad.
Rukun dari akad transaksi tersebut meliputi :
a. Orang yang berakad :
1) Yang berhutang (rahin) dan
2) Yang berpiutang (murtahin).
b. Sighat (ijab qabul)
c. Harta yang dirahnkan (marhun)
d. Pinjaman (marhun bih)

Dari landasan Syariah tersebut maka mekanisme operasional Pegadaian Syariah dapat digambarkan sebagai berikut : Melalui akad rahn, nasabah menyerahkan barang bergerak dan kemudian Pegadaian menyimpan dan merawatnya di tempat yang telah disediakan oleh Pegadaian. Akibat yang timbul dari proses penyimpanan adalah timbulnya biaya-biaya yang meliputi nilai investasi tempat penyimpanan, biaya perawatan dan keseluruhan proses kegiatannya. Atas dasar ini dibenarkan bagi Pegadaian mengenakan biaya sewa kepada nasabah sesuai jumlah yang disepakati oleh kedua belah pihak.

Pegadaian Syariah akan memperoleh keutungan hanya dari bea sewa tempat yang dipungut bukan tambahan berupa bunga atau sewa modal yang diperhitungkan dari uang pinjaman.. Sehingga di sini dapat dikatakan proses pinjam meminjam uang hanya sebagai “lipstick” yang akan menarik minat konsumen untuk menyimpan barangnya di Pegadaian.
Adapun ketentuan atau persyaratan yang menyertai akad tersebut meliputi :
1. Akad. Akad tidak mengandung syarat fasik/bathil seperti murtahin mensyaratkan barang jaminan dapat dimanfaatkan tanpa batas.
2. Marhun Bih ( Pinjaman). Pinjaman merupakan hak yang wajib dikembalikan kepada murtahin dan bisa dilunasi dengan barang yang dirahnkan tersebut. Serta, pinjaman itu jelas dan tertentu.
3. Marhun (barang yang dirahnkan). Marhun bisa dijual dan nilainya seimbang dengan pinjaman, memiliki nilai, jelas ukurannya, milik sah penuh dari rahin, tidak terkait dengan hak orang lain, dan bisa diserahkan baik materi maupun manfaatnya.
4. Jumlah maksimum dana rahn dan nilai likuidasi barang yang dirahnkan serta jangka waktu rahn ditetapkan dalam prosedur.
5. Rahin dibebani jasa manajemen atas barang berupa : biaya asuransi,biaya penyimpanan,biaya keamanan, dan biaya pengelolaan serta administrasi.
Untuk dapat memperoleh layanan dari Pegadaian Syariah, masyarakat hanya cukup menyerahkan harta geraknya ( emas, berlian, kendaraan, dan lain-lain) untuk dititipkan disertai dengan copy tanda pengenal. Kemudian staf Penaksir akan menentukan nilai taksiran barang bergerak tersebut yang akan dijadikan sebagai patokan perhitungan pengenaan sewa simpanan (jasa simpan) dan plafon uang pinjaman yang dapat diberikan. Taksiran barang ditentukan berdasarkan nilai intrinsik dan harga pasar yang telah ditetapkan oleh Perum Pegadaian. Maksimum uang pinjaman yang dapat diberikan adalah sebesar 90% dari nilai taksiran barang.

Setelah melalui tahapan ini, Pegadaian Syariah dan nasabah melakukan akad dengan kesepakatan :
1. Jangka waktu penyimpanan barang dan pinjaman ditetapkan selama maksimum empat bulan.
2. Nasabah bersedia membayar jasa simpan sebesar Rp 90,- (sembilan puluh rupiah) dari kelipatan taksiran Rp 10.000,- per 10 hari yang dibayar bersamaan pada saat melunasi pinjaman.
3. Membayar biaya administrasi yang besarnya ditetapkan oleh Pegadaian pada saat pencairan uang pinjaman.
Nasabah dalam hal ini diberikan kelonggaran untuk :
• melakukan penebusan barang/pelunasan pinjaman kapan pun sebelum jangka waktu empat bulan,
• mengangsur uang pinjaman dengan membayar terlebih dahulu jasa simpan yang sudah berjalan ditambah bea administrasi,
• atau hanya membayar jasa simpannya saja terlebih dahulu jika pada saat jatuh tempo nasabah belum mampu melunasi pinjaman uangnya.
Jika nasabah sudah tidak mampu melunasi hutang atau hanya membayar jasa simpan, maka Pegadaian Syarian melakukan eksekusi barang jaminan dengan cara dijual, selisih antara nilai penjualan dengan pokok pinjaman, jasa simpan dan pajak merupakan uang kelebihan yang menjadi hak nasabah. Nasabah diberi kesempatan selama satu tahun untuk mengambil Uang kelebihan, dan jika dalam satu tahun ternyata nasabah tidak mengambil uang tersebut, Pegadaian Syariah akan menyerahkan uang kelebihan kepada Badan Amil Zakat sebagai ZIS.

B.6. Pendanaan
Aspek syariah tidak hanya menyentuh bagian operasionalnya saja, pembiayaan kegiatan dan pendanaan bagi nasabah, harus diperoleh dari sumber yang benar-benar terbebas dari unsur riba. Dalam hal ini, seluruh kegiatan Pegadaian syariah termasuk dana yang kemudian disalurkan kepada nasabah, murni berasal dari modal sendiri ditambah dana pihak ketiga dari sumber yang dapat dipertanggungjawabkan. Pegadaian telah melakukan kerja sama dengan Bank Muamalat sebagai fundernya, ke depan Pegadaian juga akan melakukan kerjasama dengan lembaga keuangan syariah lain untuk memback up modal kerja.
Dari uraian ini dapat dicermati perbedaan yang cukup mendasar dari teknik transaksi Pegadaian Syariah dibandingkan dengan Pegadaian konvensional, yaitu :
1. Di Pegadaian konvensional, tambahan yang harus dibayar oleh nasabah yang disebut sebagai sewa modal, dihitung dari nilai pinjaman.
2. Pegadaian konvensional hanya melakukan satu akad perjanjian : hutang piutang dengan jaminan barang bergerak yang jika ditinjau dari aspek hukum konvensional, keberadaan barang jaminan dalam gadai bersifat acessoir, sehingga Pegadaian konvensional bisa tidak melakukan penahanan barang jaminan atau dengan kata lain melakukan praktik fidusia. Berbeda dengan Pegadaian syariah yang mensyaratkan secara mutlak keberadaan barang jaminan untuk membenarkan penarikan bea jasa simpan.

C. KESIMPULAN
a. Pemikiran tentang berdirinya pegadaian syariah adalah merupakan tanda syukur kita kehadirat Allah SWT yang telah memberikan nikmat iman Islam dan telah diijinkannya oleh Pemerintah berdirinya lembaga-lembaga keuangan yang beroperasi sesuai dengan prinsip syariat Islam.
b. Pegadaian syariah mempunyai landasan hukum syariat yang kuat dalam ajaran Islam. Hal-hal yang perlu mendapat perhatian adalah unsur-unsur gadai, rukun dan sahnya akad, barang yang boleh digadaikan, hak dan kewajiban masing-masing pihak, dan pemilikan barang gadai.
c. Barang gadaian syariah adalah merupakan pelengkap belaka dari konsep hutang piutang antara individu atau perorangan. Konsep hutang piutang sesuai dengan syariat adalah merupakan salah satu konsep ekonomi Islam dimana bentuknya yang lebih tepat adalah al-qardhul hassan.
d. Hutang piutang dalam bentuk al-qardhul hassan dengan dukungan gadai (rahn), dapat dipergunakan unutk keperluan sosial maupun komersial. Peminjam mempunyai dua pilihan, yaitu : dapat memilih qardhul hassan atau menerima pemberi pinjaman atau penyandang dana (rabb al-mal) sebagai mitra usaha dalam perjanjian mudharabah.
e. Untuk nasabah yang memilih pinjaman gadai dalam bentuk mudharabah maka fungsi gadai disini adalah mencairkan atau memproduktifkan (dishoarding) harta beku (hoarding) yang tidak produktif.
f. Lembaga gadai syariah perusahaan bertindak sebagai penyandang dana atau rabb almal sedang nasabahnya bisa bertindak sebagai rahin atau bisa juga bertindak sebagai mudharib tergantung alternatif yang dipilih.
g. Lembaga gadai syariah untuk hubungan antar pribadi sebenarnya sudah operasional karena setiap orang bisa melakukan perjanjian hutang piutang dengan gadai syariah.





Selengkapnya...

03 April, 2009

Riba (Syariah)

Bunga Dan Riba
Pengertian Bunga dan Riba
Secara leksikal, bunga sebagai terjemahan dari kata interest. Secara istilah sebagaimana diungkapkan dalam suatu kamus dinyatakan, bahwa interest is a charge for a financial loan, usually a percentage of the amount loaned. Bunga adalah tanggungan pada pinjaman uang, yang biasanya dinyatakan dengan persentase dari uang yang dipinjamkan .



Dan menurut Kamus Istilah Akuntansi Syari’ah, bunga berarti tambahan biaya yang dibebankan akibat dari adanya suatu pinjaman atau utang yang besarnya ditunjukkan dengan suatu persentase dari pinjaman tersebut yang telah disepakati oleh kedua belah pihak.
Adapun pengertian riba pada hakekatnya tidaklah jauh berbeda dengan pengertian bunga di atas. Riba = ziyadah, berarti: bertumbuh, menambah atau berlebih. Al-Riba atau ar-Rima makna asalnya ialah tambah, tumbuh dan subur. Dan dalam Kamus Istilah Akuntansi Syari’ah yang dikatakan dengan riba secara bahasa adalah ziyadah: tambahan, tumbus, membesar. Dan pengertiannya menurut istilah adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam meminjam secara bathil atau bertentangan dengan prinsip muamalah dalam Islam.
Riba sering diterjemahkan orang dalam bahasa Inggris sebagai “usury” yang artinya “the act of lending money at an exorbitant or illegal rate of interest”. Sementara para ulama fiqih mendefinisikan riba dengan “kelebihan harta dalam suatu muamalah dengan tidak ada imbalan/gantinya”. Maksud dari perkataan ini adalah tambahan terhadap modal uang yang timbul akibat transaksi utang piutang yang harus terutang kepada pemilik uang pada saat utang jatuh tempo. Aktivitas semacam ini berlaku luas di kalangan masyarakat Yahudi sebelum datangnya Islam, sehingga masyarakat Arab pun sebelum dan pada masa awal Islam melakukan muamalah dengan cara tersebut.
Oleh karena itu, apabila kita menarik pelajaran sejarah masyarakat Barat, maka terlihat jelas bahwa sebenarnya interest dan usury yang kita kenal saat ini pada hakekatnya adalah sama. Keduanya berarti tambahan uang, umumnya dalam persentase.
Istilah “usury” muncul karena belum mapannya pasar keuangan pada masa itu sehingga penguasa harus menetapkan suatu tingkat bunga yang dianggap wajar. Namun setelah mapannya lembaga dan pasar keuangan, kedua istilah itu menjadi hilang karena hanya ada satu tingkat bunga di pasar sesuai dengan hukum permintaan dan penawaran.

Apakah Bunga Sama Dengan Riba?
Untuk menjawab pertanyaan ini, maka penulis merujuk kepada makalah yang pernah disampaikan oleh bapak H. Karnaen A. Perwata Atmadja. . Menurutnya ada dua pendekatan untuk memahami apakah bunga sama dengan riba, yaitu:

1. Pendekatan secara epistemology (asal usul bahasa).

a. Definisi bunga (terjemahan dari interest).
1) The American Heritage DICTIONARY of the English Language : Interest is "A charge for a financial loan, usually a precentage of the amount loaned ".
2) KAMUS EKONOMI (Inggris - Indonesia), Prof. DR. Winardi, SE.: Interest (net) - Bunga modal (netto). Pembayaran untuk penggunaan dana-dana.
Diterangkan dengan macam-macam cara seperti misalnya :
a) Balas jasa untuk pengorbanan (ber)konsumsi atas pendapatan yang dicapai (diperoleh) waktu sekarang (contoh : teori abstinense).

b) Pendapatan orang yang berbeda (mengenai) preferensi likwiditas(nya (yang menyesuaikan) terhadap harga (yang berlaku).

c) Harga yang dinilai lebih tinggi (mengatasi terhadap) masa sekarang atas masa yang akan datang (preferensi waktu).

d) Pengukuran produktifitas macam-macam investasi (efisiensi marginal modal)

e) Harga yang menyesuaikan pemintaan dan penawaran akan dana-dana yang dipinjamkan (teori dana yang dipinjamkan)

b. Definisi dari riba (terjemahan dari usury) :
1) The American Heritage DICTIONARY of the English Language :
Usury is “The act or practise of lending money at an exorbitant or ilegal rete of interest “ or “Such an excessive rate of interest”.
DR. Perry Warjiyo dalam makalahnya pernah mengatakan:
"Dari pelajaran sejarah masyarakat barat, terlihat jelas bahwa "interest" dan "usury" yang kita kenal saat ini pada hakekatnya adalah sama. Keduanya berarti tambahan uang, umumnya dalam persentase. Istilah "usury" muncul karena belum mapannya pasar keuangan pada zaman itu sehingga penguasa harus menetapkan suatu tingkat bunga yang dianggap "wajar". Namun setelah mapannya lembaga dan pasar keuangan, kedua istilah itu menjadi hilang karena hanya ada satu tingkat bunga di pasar sesuai dengan hukum permintaan dan penawaran""
(Catatan : Di Indonesia, sebelum Deregulasi 1 Juni 1983 Pemerintah menetapkan tingkat bunga bank, tetapi sesudah itu hingga sekarang suku bunga ditetapkan oleh hukum permintaan dan penawaran.)

c. Definisi riba dari bahasa Arab :
Ensiklopedi ISLAM Indonesia, Tim Penulis IAIN SYARIF HIDAYATULLAH.
Al-Riba atau Ar-Rima makna asalnya ialah tambah, tumbuh dan subur. Adapun pengertian tambah dalam konteks riba ialah tambahan uang atas modal yang diperoleh dengan cara yang tidak dibenarkan syara’, apakah tambahan itu berjumlah sedikit maupun berjumlah banyak seperti yang diisyaratkan dalam Al-Qur'an.

d. Pendekatan dari tanda-tanda dan arah yang dimaksud riba pada ayat-ayat Al Qur’an :

1) Dengan memeriksa ayat-ayat larangan riba dalam Al-Qur'an dan Hadis, dapat diketahui bahwa larangan riba hampir selalu diawali dengan kata "al" yang artinya menunjuk kepada praktek riba yang telah dilakukan dan sudah cukup dikenal pada waktu itu.

2) Bagaimana praktek riba yang dilakukan pada waktu itu dapat diikuti hasil penelitian Anwar Iqbal Quresi, dalam bukunya sebagai berikut:
a) Seseorang menjual sesuatu kepada orang lain dengan perjanjian bahwa pembayarannya akan dilakukan pada suatu tanggal yang telah disetujui bersama. Apabila pembeli kemudian tidak dapat membayarnya pada tanggal yang telah disetujui itu, suatu "waktu lenggang" diberikan asalkan pembeli setuju untuk membayar jumlah yang lebih besar dari harga semula.

b) Seseorang meminjamkan sejumlah uang selama suatu jangka waktu tertentu dengan syarat bahwa pada saat jatuh temponya nanti si peminjam membayar "pokok modal" bersama suatu jumlah tetap "riba" atau "tambahan".

c) Si peminjam dan pemberi pinjaman setuju atas suatu tingkat "riba" tertentu selama suatu jangka waktu tertentu. Apabila setelah jangka waktu tersebut si peminjam tidak dapat melunasi hutangnya beserta jumlah tambahannya, ia kemudian diharuskan membayar suatu tingkat kenaikan "riba" sebagai tambahan "waktu lenggang".

e. Pendekatan dari Hadits Rasulullah SAW:
Rasulullah melarang mengambil hadiah, jasa atau pertolongan sekecil apapun sebagai syarat atas suatu pinjaman. Tambahan yang tidak sama dengan praktek yang ditunjukkan tersebut diatas tidak termasuk riba yang diharamkan, sebagaimana dicontohkan dalam sebuah Hadist :
Dari Abu Rafi’ r.a., katanya Rasulullah SAW pernah meminjam unta muda usia kepada seseorang. Setelah itu, ada orang mengantarkan unta sedekah kepada beliau. Lalu Nabi SAW menyuruh Abu Rafi’ membayar unta muda yang dipinjamnya. Abu Rafi’ mengatakan kepada beliau : “Ya Rasulullah, belum ada unta muda, yang ada hanyalah unta pilihan yang telah dewasa. “Sabda beliau : “Berikanlah itu ! Sebaik-baik manusia, ialah yang mengutamakan pelunasan suatu hutang”.
Dari Hadist tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa sesuatu tambahan tidak termasuk riba apabila :
1. Tambahan itu tidak disyaratkan dimuka atau tidak dijanjikan terlebih dahulu,
2. Tambahan itu inisiatifnya datang dari peminjam,
3. Inisiatif memberikan tambahan itu timbul pada waktu jatuh tempo.
2. Pendekatan proses pembungaan uang dan akibatnya

Adapun pembahasan mengenai masalah ini, maka alangkah lebih baiknya kalau kita melihat langsung makalah yang penulis maksud di awal tadi. Hal ini mengingat penjelasannya dalam bentuk gambar dan diagram.
Riba Dalam Perspektif Agama

1. Non-Muslim
Riba bukan hanya merupakan persoalan masyarakat Islam, tetapi berbagai kalangan di luar Islam juga serius dalam memandang persoalan ini. Karena itu, kajian mengenai riba ini dapat dirunut mundur hingga lebih dari 200 tahun silam. Masalah riba telah menjadi bahan pembahasan kalangan Yahudi, Yunani, demikian juga Romawi Kalangan Kristen dari masa ke masa juga mempunyai pandangan tersendiri mengenai riba.
• Konsep bunga di kalangan Yahudi
Orang-orang Yahudi dilarang mempraktekkan pengambilan bunga. Pelarangan ini banyak terdapat dalam kitab suci mereka, baik dalam Old Testament (Perjanjian Lama) maupun Undang-Undang Talmud.
Kitab Exodus (Keluaran) pasal 22 ayat 25 menyatakan:
“Jika engkau meminjamkan uang kepada salah seorang umatku, orang yang miskin di antara kamu, maka janganlah engkau berlaku sebagai penagih hutang terhadap dia, janganlah engkau bebankan bunga terhadapnya”.
Kitab Deutoronomy (Ulangan) pasal 23 ayat 19 menyatakan:
“Janganlah engkau membungakan kepada saudaramu, baik uang maupun bahan makanan, atau apapun yang dapat dibungakan” .


• Konsep bunga di kalangan Yunani dan Romawi
Pada masa Yunani, sekitar abad VI SM hingga 1 M, telah terdapat beberapa jenis bunga. Besarnya bunga tersebut bervariasi tergantung kegunaannya. Secara umum, nilai bunga tersebut dikategorikan sebagai berikut:
Pinjaman Biasa 6% - 18%
Pinjaman Property 6% - 12%
Pinjaman Antar Kota 7% - 12%
Pinjaman Perdagangan dan Industri 12% - 18%
Pada masa Romawi, sekitar abad V SM – IV M, terdapat UU yang membenarkan penduduknya mengambil selama tingkat bunga tersebut sesuai dengan tingkat maksimal yang dibenarkan hukum (maximum legal rate).
Nilai suku ini berubah-ubah dari waktu ke waktu. Meskipun UU membenarkan pengambilan bunga, tetapi pengambilannya tidak dibenarkan dengan cara bunga berbunga (double countable).
Pada masa pemerintahan Genucia (342 SM), kegiatan pengambilan bunga tidak diperbolehkan. Tetapi pada masa Unciaria (88 SM), praktek tersebut diperbolehkan kembali seperti semula.
Meskipun demikian, praktek pengambilan bunga dicela oleh para ahli filsafat. Dua orang ahli filsafat Yunani terkemuka, Plato (427-347 SM) dan Aristoteles (384-322 SM) mengecam praktek bunga. Begitu juga dengan Cato (234-149 SM) dan Cicero (106-43 SM) para ahli filsafat mengutuk orang-orang Romawi yang mempraktekkan pengambilan bunga.
• Konsep bunga di kalangan Kristen
Kitab Perjanjian Baru tidak menyebutkan permasalahan ini secara jelas. Namun sebagian kalangan Kristiani menganggap bahwa ayat yang terdapat dalam Lukas 6 ; 34-5 sebagai ayat yang mengecam praktek pengambilan bunga. Ayat tersebut mengatakan:
“Dan jikalau kamu meminjamkan sesuatu kepada orang, karena kamu berharap akan menerima sesuatu dari padanya, apakah jasamu? Orang-orang berdosa pun meminjamkan kepada orang yang berdosa, supaya mereka menerima kembali sama banyak. Tetapi kasihilah musuhmu dan berbuatlah baik kepada mereka dan pinjamkan dengan tidak mengharafkan balasan, maka upahmu akan besar dan kamu akan menjadi anak-anak Tuhan Yang Maha Tinggi, sebab ia baik terhadap orang-orang yang tidak tahu berterima kasih dan terhadap orang-orang jahat”.
Ketidaktegasan ayat tersebut mengakibatkan munculnya berbagai tanggapan dan tafsiran dari para pemuka agama Kristen tentang boleh atau tidaknya orang Kristen mempraktekkan pengambilan bunga. Berbagai pandangan di kalangan agama Kristen dapat dikelompokkan menjadi tiga periode utama, yaitu pandangan para pendeta awal Kristen (abad I- XII), yang mengharamkan bunga, pandangan para sarjana kristen (abad XII- XVI) yang berkeinginan agar bunga diperbolehkan, dan pandangan para reformis Kristen (abad XVI- tahun 1836) yang menyebabkan agama Kristen menghalalkan bunga.

2. Islam
Dalam agama Islam, terdapat beberapa dalil Al-Qur’an yang melarang sistem riba. Namun demikian, Allah SWT menurunkan risalah larangan praktek riba dengan menggunakan empat tahapan, yakni:

1. Allah memberikan pengertian bahwa riba tidak akan menambah kebaikan di sisi-Nya. Allah berfirman:

“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, Maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, Maka (yang berbuat demikian) Itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya). (QS. Ar-Ruum : 39)

2. Allah memberikan gambaran siksa bagi Yahudi dengan salah satu karakternya, yaitu suka makan riba. Allah SWT berfirman:
Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, kami haramkan atas (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan Karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah,
Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal Sesungguhnya mereka Telah dilarang daripadanya, dan Karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. kami Telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.
(QS. An-Nisa’ : 160-161)

3. Allah SWT telah melarang memakan riba yang berlipat ganda. Allah SWT berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. (QS. Ali Imron : 130)

4. Allah SWT melarang dengan keras dan tegas semua jenis riba. Allah SWT berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman..
Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka Ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya”.
(QS. Albaqarah :278-279).

Untuk memperjelas bahwa riba itu dilarang dan bahkan diharamkan, terdapat beberapa hadist yang menyatakan hal tersebut:
1. Rasulullah SAW bersabda:
“Riba itu mempunyai 37 tingkatan, yang paling rendah (dosanya) sama dengan seseorang melakukan zina dengan ibunya”. (Muttafaqun ‘alaihi)
2. Diriwayatkan oleh Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Tuhan sesungguhnya berlaku adil karena tidak membenarkan empat golongan memasuki surga atau tidak mendapat petunjuk, yakni peminum arak, pemakan harta anak yatim, dan mereka yang menelantarkan ibu/bapaknya”. (Muttafaqun ‘alaihi)
3. Dari Ibnu Abbas dari Nabi SAW, beliau bersabda:
“Jika telah muncul wabah zina dan riba di suatu negeri, maka berarti mereka telah siapmenanti kedatangan azab dari Allah”. (Muttafaqun ‘alaihi)

Jenis-jenis Riba

Secara garis besar riba dikelompokkan menjadi dua. Masing-masing adalah riba utang piutang dan riba jual-beli. Kelompok pertama trbagi klagi menjadi riba qardh dan riba jahiliyah. Sedangkan kelompok kedua, riba jual-beli terbagi lagi menjadi riba fadhl dan riba nasi’ah. Ibnu Hajar menjelaskan pembagian riba tersebut serta hukumnya dengan mengatakan,”Bahwa riba itu terdiri dari tiga jenis yaitu, yaitu riba fadli, riba riba al-yaad dan riba nasi’ah. Al-Mutawali menambahkan jenis ke empat, yaitu riba al-qardh. Beliau juga mengatakan bahwa semua jenis ini diharamkan secara ijma’ berdasarkan nash Al-Qur’an dan hadist Nabi”, (az-Zawajir, II/205). Adapun barang-barang yang diklasifikasikan ke dalam jenis barang yang dapat di gunakan dalam praktek riba yaitu” a) emas dan perak, baik dalam bentuk mata uang ataupun lainnya, b) bahan makanan pokok seperti beras, gandum, dan sebagainya .
Ketetapan Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (MUI)
Dewan Syariah Nasional, Majelis Ulama Indonesia telah mengeluarkan fatwa Nomor 01/DSN-MUI/IV/2000 tentang Giro, Nomor 02/DSN-MUI/IV/ 2000 tentang Tabungan, dan Nomor 03/DSN-MUI/IV/2000 tentang Deposito, yang menetapkan bahwa Giro, Tabungan, dan Deposito tidak dibenarkan secara syariah apabila berdasarkan perhitungan bunga. Sedangkan Giro, Tabungan, dan Deposito yang dibenarkan secara syariah ialah yang didasarkan prinsip mudharabah dan/atau wadiah .
Keputusan Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia tentang Fatwa Bunga (Interest/Fa-idah) tanggal 22 Syawal 1424 atau 16 Desember 2003, antara lain : Praktek pembungaan uang saat ini telah memenuhi kriteria riba yang terjadi pada zaman Rasulullah SAW, yakni riba nasi’ah. Dengan demikian praktek pembungaan uang ini termasuk salah satu bentuk riba, dan haram hukumnya. Praktek pembungaan uang ini banyak dilakukan oleh Bank, Asuransi, Pasar Modal, Pegadaian, Koperasi, dan Lembaga Keuangan lainnya termasuk juga oleh individu.
Pertimbangan dari Majelis Ulama Indonesia untuk mengeluarkan fatwa bahwa bunga bank adalah haram, merupakan suatu proses yang cukup panjang. Banyak hal yang dipertimbangkan dari cara pengambilan keputusan tersebut, tidak terkecuali tentang kesiapan infrastruktur yang ada jika nantinya bunga bank telah diharamkan, juga mengenai mudharat dan maslahahnya.
Jadi, Bunga Bank = Riba?
Jawaban terhadap persoalan sub pokok bahasan ini, akan lebih rinci apabila dikembalikan kepada pandangan tentang adanya kesamaan antara praktek bunga dengan riba yang diharamkan dalam Al-Qur’an dan Hadits. Kesamaan ini sulit dibantah, apalagi secara nyata aplikasi sistem bunga pada perbankan lebih banyak dirasakan mudharatnya dari pada manfaatnya. Kemudharatan sistem bunga sehingga dikategorikan sebagai riba, karena ada unsur yang dilarang menurut agama atau menyebabkan kesengsaraan secara ekonomi bagi pihak yang melakukan peminjaman dengan bunga.
Kesimpulan
Persoalan riba telah ada sejak orang mulai berbicara tentang hubungan perdagangan dan keuangan. Riba adalah tambahan yang dilakukan secara bathil, sangat mempengaruhi pelakunya dalam sisi ekonomi maupun sosial. Secara ekonomi, riba dapat menimbulkan inflasi ekonomi, sebagai akibat dari bunga sebagai biaya uang. Hal tersebut disebabkan karena salah satu elemen dari penentuan harga adalah suku bunga. Semakin tinggi suku bunga, semakin tinggi juga harga yang akan ditetapkan pada suatu barang. Dampak lainnya adalah bahwa hutang, dengan rendahnya tingkat penerimaan peminjam dan tingginya biaya bunga, akan menjadikan peminjam tidak pernah keluar dari ketergantungan, terlebih lagi bila bunga atas hutang tersebut dibungakan.
Dari sisi kemasyarakatan (sosial), riba merupakan pendapatan yang didapat secara tidak adil (bathil). Para pengambil riba menggunakan uangnya untuk memerintahkan orang lain agar berusaha dan mengembalikan misalnya 25% lebih dari jumlah yang dipinjamkannya. Persoalannya, siapa yang bisa menjamin bahwa usaha yang dijalankan oleh orang itu nantinya akan mendapatkan keuntungan lebih dari 25%.
Semua orang tahu, bahwa siapapun tidak bisa memastikan apa yang terjadi esok atau lusa. Siapapun tahu, bahwa berusaha memiliki dua kemungkinan, yaitu berhasil atau gagal. Dengan menetapkan riba, berarti orang sudah memastikan bahwa usahanya pasti berhasil (untung).


DAFTAR PUSTAKA
Buku-buku:
Utomo, Setiawan Budi, 2003, Fiqih Aktual Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer, Jakarta: Gema Insani Press

Rahmawan, A Ivan, 2005, Kamus Istilah Akuntansi Syari’ah, Yogyakarta: Pilar Media

Adityangga, Krishna, 2006, Membumikan Ekonomi Islam, Yogyakarta: Pilar Media

Muhamad, 2002, Manajemen Bank Syari’ah, Yogyakarta: UPP AMP YKPN


Artikel:

Perwataatmaja, Karnaen A, Sekitar Kontroversi Bunga Bank dan Riba

Selengkapnya...

Jual Beli Syariah

AL-BA’I (JUAL BELI)


A. Pengertian Jual Beli

Menurut etimologi, jual beli diartikan pertukaran sesuatu dengan sesuatu (yang lain). Kata lain dari al-ba’i adalah asy-syira’, al-mubadah, dan at-tijaarah. Berkenaan dengan at-tijaarah, dalam QS. Al-Fahir : 29 disebutkan:

Artinya: “Mereka mengharapkan tijaarah (perdagangan) yang tidak akan rugi”

Adapun jual-beli menurut terminologi, para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikannya



antara lain:
1. Menurut ulama Hanafiyah:
Menurut ulama Hanafiyah, al-ba’i adalah pertukaran harta (benda) dengan harta berdasarkan cara khusus yang dibolehkan. Selain itu, mereka juga mendefinisikan al-ba’i sebagai tukar menukar sesuatu yang diingini dengan yang sepadan melalui cara tertentu yang bermanfaat.

2. Menurut Imam Nawawi
Dalam kitab al-Majmu’, Imam Nawawi mengartikan al-ba’i sebagai pertukaran harta dengan harta untuk kepemilikan.

3. Menurut mazhab Maliki, Syafi’I dan Hanbali
Menurut mazhab-mazhab tersebut, al-ba’i adalah saling menukar harta dengan harta dalam bentuk pemindahan milik dan pemilikan.
Definisi-definisi yang disebutkan di atas menekankan pada aspek milik pemilikan, karena sebagai mana kita ketahui bahwa ada pula tukar menukar harta/barang yang sifatnya bukan pemilikan, seperti sewa menyewa.

B. Landasan Syara’
Jual-beli disyariatkan berdasarkan al-Qur’an, Sunnah, dan juga Ijma’, yakni:
1. Al-Qur’an, di antaranya:

Artinya: “Padahal Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba”
(QS. Al-Baqarah:275)

2. As-Sunnah
Hadits yang diriwayatkan dari bajjaj, yang kemudian dishahihkan oleh Hakim dari Rifa’ah Ibn Rafi’, yang artinya berbunyi:
“Nabi SAW. ditanya tentang mata pencaharian yang paling baik. Beliau menjawab: ‘Seseorang bekerja dengan tangannya dan setiap jual-beli yang mabrur’.”
Maksud mabrur dalam hadits di atas adalah jual-beli yang terhindar dari usaha tipu-menipu danmerugikan orang lain.
Dalam hadits lain, Rasulullah SAW. pun bersabda: pedagang yang jujur dan terpercaya itu sejajar (tempatnya di surga) dengan para Nabi, para Siddiqin dan para Syuhada’.

3. Ijma’
Ulama telah sepakat bahwa jual-beli diperbolehkan dengan alas an bahwa manusia tidak akan mampu mencukupi kebutuhan dirinya tanpa bantuan orang lain. Namun demikian, bantuan atau barang milik orang lain yang dibutuhkannya itu harus diganti (ditukar) dengan barang lainnya yang sesuai.

C. Hukum dan Sifat Jual-Beli
Asal hukum jual-beli adalah mubah (boleh). Namun bila ditinjau lebih jauh lagi, jumhur ulama membagi jual-beli menjadi dua macam:
1. Jual-beli kategori sah (shahih). Yaitu jual-beli yang memenuhi ketentuan syara’ baik rukun maupun syaratnya.

2. Jual-beli kategori tidak sah. Yaitu jual-beli yang tidak memenuhi salah satu syarat dan rukun sehingga jual-beli tersebut menjadi rusak (fasid) atau batal.

Berkenaan dengan rusak dan batal, jumhur ulama berpendapat bahwa dua kata tersebut mempunyai arti yang sama. Akan tetapi, ulama Hanafi membedakan arti kedua kata tersebut. Ulama Hanafiyah membagikan jual-beli ke dalam:

1. Jual-beli shahih, yaitu jual-beli yang memenuhi ketentuan syariat. Hukumnya, sesuatu yang diperjual-belikan menjadi milik yang melakukan akad.

2. Jual-beli batal, yaitu jual-beli yang tidak memenuhi salah satu rukun, atau yang tidak sesuai dengan syariat, yakni orang yang akad bukan ahlinya, seperti jual-beli yang dilakukan oleh orang gila atau anak kecil.

3. Jual-beli rusak, yaitu jual beli yang sesuai dengan ketentuan syariat pada asalnya, tetapi tidak sesyai dengan syariat pada sifatnya, seperti jual beli yang dilakukan oleh orang mumayyiz, tetapi bodoh sehingga menimbulkan peretntangan.

Namun demikian, perbedaan antara jumhur ulama dengan ulama hanafiyah tersebut hanyalah dalam masalah mu’amalah. Sedangkan dalam masalah ibadah mereka tetap sepakat mengenai kesamaan arti antara batal dan rusak (fasid).

D. Rukun dan Pelaksanaan Jual-Beli

Menurut ulama Hanafiyah rukun jual beli adalah Ijab dan qabul yang menunjukkan pertukaran barang secara ridha, baik dengan ucapan maupun perbuatan
Adapun menurut jumhur ulama, rukun jual-beli itu ada empat, yaitu:
1. Ba’i (penjual)
2. Mustari (pembeli)
3. Shigat (ijab dan qabul)
4. Ma’qud ‘alaih (baenda atau barang).

E. Syarat Jual-Beli
Dalam jual-beli terdapat empat macam syarat, yaitu syarat terjadinya aqad (in’iqad), syarat sahnya aqad, syarat terlaksananya aqad (nafadz), dan syarat kemestian (lujum).
Secara umum, tujuan dari adanya semua syarat tersebut antara lain untuk menghindari pertentangan di antara manusia, menjaga kemaslahatan orang yang sedang aqad, menghindari jual-beli gharar, dan lain-lain.
Di antara ulama fiqih berbeda pendapat dalam menetapkan persyaratan jual-beli. Berikut pembahasan mengenai hal tersebut:

1. Menurut ulama Hanafiyah
Persyaratan yang ditetapkan ulama Hanafiyah berkaitan dengan syarat jual-beli adalah:
a. Syarat Terjadinya Aqad (In’iqad)
Adalah syarat-syarat yang telah ditetapkan syara’. Jika persyaratan ini tidak terpenuhi maka jual-beli batal. Tentang syarat ini ulama hanafiyah menetapkan empat syarat, yakni:
1. Syarat ‘Aqid (orang yang ’aqad)
‘Aqid harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. Berakal dan Mumayyiz
Ulama hanafiyah tidak mensyaratkan harus baligh. Tasharruf yang boleh dilakukan oleh anak mumayyiz dan berakal secara umum terbagi tiga, yaitu:
 Tasharruf yang bermanfaat secara murni, seperti hibah.
 Tasharruf yang tidak bermanfaat secara murni, seperti tidak sah talak oleh anak kecil.
 Tasharruf yang berada di antara kemanfaatan dan kemudharatan, yaitu aktivitas yang boleh dilakukan tetapi atas seizing wali.

b. Aqid harus berbilang, sehingga tidaklah sah aqad dilakukan seorang diri. Minimal dilakukan oleh dua orang, yaitu penjual dan pembeli.
2. Syarat dalam Aqad.
Syarat ini hanya satu, yaitu harus sesuai antara ijab dan qabul. Nmaun demiian, dalam ijab-qabul terdapat syarat berikut:
a. Ahli aqad
Menurut ulama Hanfiyah, seorang anak yang berakal dan mumayyiz (berumur tujuh tahun, tetapi belum baligh) dapat menjadi ahli aqad. Ulama Malikiyah dan Hanbaliyah berpendapat bahwa aqad anak mumayyiz bergantung pada izin walinya. Adapun menurut ulama Syafi’iyah, anak mumayyiz yang belum baligh tidak dibolehkan melakukan aqad sebab dia belum dapat menjaga agama dan hartanya (masih bodoh).
b. Qabul harus sesuai dengan ijab
c. Ijab dan qabul harus bersatu (berhubungan walaupuntempatnya tidak bersatu).
3. Tempat Aqad
Harus bersatu atau berhubungan antara ijab dan qabul.
4. Ma’qud ‘Alaih (Objek Aqad)
Ma’qud ‘Alaih harus memenuhi empat syarat:
a. Ma’qud ‘Alaih harus ada, tidak boleh aqad atas barang yang tidak ada atau dikhawatirkan tidak ada, seperti jual-beli buah yang tidak tampak, atau jual-beli hewan yang masih berada dalam kandunngan induknya.
b. Harta harus kuat, tetap, dan bernilai, yakni benda yang mungkin dimanfaatkan dan disimpan.
c. Benda tersebut milik sendiri.
d. Dapat diserahkan.
b. Syarat Pelaksanaan Aqad (Nafadz)
1. Benda dimiliki aqid atau berkuasa untuk aqad
2. Pada benda tidak terdapat milik orang lain.

c. Syarat Sah Aqad
Syarat ini terbagi dua, yaitu:
1. Syarat umum
Adalah syarat-syarat yang berhubungan dengan semua bentuk jual-beli yang telah ditetapkan syara’. Di antaranya adalah syarat-syarat yang telah disebutkan di atas tadi. Juga harus terhindar dari kecacatan jual-beli, yaitu ketidakjelasan, keterpaksaan, pembatasan dengan waktu, penipuan, kemudharatan, dan yang merusak lainnya.
2. Syarat khusus.
Adalah syarat-syarat yang hanya ada pada barang tertentu. Jual-beli ini harus memenuhi persyaratan berikut:
a. Barang yang diperjual-belikan harus dapat dipegang.
b. Harga awal harus diketahui, yaitu pada jual beli amanat.
c. Serah terima benda harus dilakukan sebelum berpisah
d. Terpenuhi syarat penerimaan
e. Harus seimbang dalam ukuran timbangan pada jual beli yang demikian.
f. Barang yang diperjual-belikan sudah menjadi tanggung jawabnya.
d. Syarat Lujum (kemestian)
Syarat ini hanya ada satu, yaitu aqad jual beli harus terlepas atau terbebas dari khiyar (pilihan) yang berkaitan dengan kedua pihak yang aqad dan akan menyebabkan batalnya aqad.

2. Menurut Madzhab Maliki
Syarat-syarat yang dikemukakan oleh ulama Malikiyah yang berkenaan dengan aqid, sighat, dan ma’qud ‘alaih, berjumlah 11 syarat:
a. Syarat Aqid
Adalah penjual dan pembeli. Dalam hal ini terdapat tiga syarat ditambah satu bagi penjual:
1. Penjual dan pembeli harus mumayyiz
2. Keduanya merupakan pemilik barang atau yang dijadikan wakil
3. Keduanya dalam keadaan sukarela. Jual-beli berdasarkan paksaan tidaklah sah
4. Penjual harus sadar dan dewasa.
Ulama Malilkiyah tidak mensyaratkan harus Islam bagi si aqid, kecuali dalam hal membeli hamba yang muslim atau membeli mushaf. Jual beli orang buta adalah sahih menurut pendapat mereka.
b. Syarat dalam shighat
1. Tempat aqad harus bersatu
2. Pengucapan ijab dan qabul tidak terpisah.
c. Syarat harga dan yang dihargakan.
1. Bukan barang yang dilarang syara’
2. Harus suci
3. Bermanfaat menurut pandangan syara’
4. Dapat diketahui oleh kedua orang yang aqad
5. Dapat diserahkan.

3. Menurut Madzhab Syafi’i
Ulama syafi’iyah mensyaratkan 22 syarat, yang berkaitan dengan aqid, shighat, dan ma’qud ‘alaih. Persyaratan tersebut adalah:
a. Syarat Aqid
1. Dewasa atau sadar.
Aqid harus baligh dan berakal, menyadari dan mampu memelihara agama dan hartanya. Dengan demikian, aqad anak yang baelum mumayyiz dipandang belum sah.
2. Tidak dipaksa atau tanpa hak
3. Islam
4. Pembeli bukan musuh


b. Syarat shighat
1. Berhadap-hadapan (harus sesuai dengan orang yang dituju, ex: arah & namanya).
2. Ditujukan pada seluruh badan yang aqad. Tidak sah mengatakan, “saya menjual barang ini kepada kepala atau tangan kamu”.
3. Qabul diucapkan oleh orang yang dituju dalam ijab.
4. Harus menyebutkan barang atau harga.
5. Ketika mengucapkan shighat harus disertai niat (maksud).
6. Pengucapan ijab dan qabul harus sempurna. Jika seseorang yang sedang bertransaksi tersebut gila sebelum mengucapkan qabul, maka jual-beli yang mereka lakukan batal.
7. Ijab dan qabul tidak terpisah.
8. Anatara ijab dan qabul tidak terpisah dengan pernyataan lain.
9. Tidak berubah lafadz. Lafadz ijab tidak boleh berubah, seperti eprkataan, “saya jual barang ini lima ribu”, kemudian beberapa saat kemudian ia mengatakan, “saya jual barang ini sepuluh ribu”, padahal barangnya tidak berubah (sama dengan barang sebelumnya).
10. Bersesuaian antara ijab dan qabul secara sempurna.
11. Tidak dikaitkan dengan sesuatu (yang tidak ada hubungannya dengan aqad).
12. Tidak dikaitkan dengan waktu.
c. Syarat ma’qud ‘alaih
1. Suci. 4. Barang milik sendiri atau menjadi wakil orang lain.
2. Bermanfaat. 5. Jelas dan diketahui oleh kedua orang yang ber’aqad
3. Dapat diserahkan.

4. Menurut Madzhab Hambali
Manurut ulama Hanbaliah, persyaratan jual-beli terdiri atas 11 syarat, baik dalam ‘aqid, shighat, dan ma’qud ‘alaih.

a. Syarat ‘aqid
1. Dewasa
Aqid harus orang yang dewasa (baligh dan berakal), kecuali pada jual-beli barang-barang yang sepele atau telah mendapat izin dari walinya dan mengandung unsur kemaslahatan.
2. Ada keridhaan.
Masing-masing aqid harus saling meridhai, tidak ada unsur paksaan, kecuali jika dikehendaki oleh mereka yang memiliki otoritas untuk itu, seperti hakim atau penguasa. Ulama Hanbaliyah menghukumi makruh bila terdapat unsur paksaan atau karena kebutuhan yang mendesak dengan harga di luar harga lazim.
b. Syarat shighat.
1. Berada di tempat yang sama.
2. Tidak terpisah.
3. Tidak dikaitkan dengan sesuatu.
c. Syarat ma’qud ‘alaih
1. Harus berupa harta.
Ma’qud ‘alaih adalah barang-barang yang bermanfaat. Adapun barang-barang yang tidak bermanfaat hanya dibolehkan ketika dalam keadaan terpaksa, misalnya khamar hanyalah dibolehkan ketika susahnya mendapatkan air. Adapun jual-beli al-Qur’an, mereka mengharamkannya, karena menurut mereka al-qur’an adalah untuk diagungkan, sedangkan menjual-belikannya bukanlah mengagungkannya.
2. Milik penjual secara sempurna.
3. Barang dapat diserahkan ketika aqad
4. Barang diketahui oleh penjual dan pembeli.
5. Harga diketahui oleh kedua pihak yang ber’aqad
6. Terhindar dari unsur-unsur yang menjadikan aqad tidak sah (seperti adanya unsur riba).
F. Jual-Beli Yang Dilarang Dalam Islam.
Berkenaan dengan jual-beli terlarang dalam Islam, Wahbah Al-Juhalili meringkasnya sebagai berikut:
a. Terlarang sebab ahliah (ahli aqad)
1. Jual-beli orang gila
2. Jual-beli anak kecil
3. Jual-beli orang buta
4. Jual beli terpaksa
5. Jual-beli fudhul, jual-beli milik orang lain tanpa seizing pemiliknya
6. Jual-beli orang terhalang
7. Jual-beli malja, yaitu jual-beli orang yang sedang dalam bahaya, yakni untuk menghindar dari perbuatan dzalim.
b. Terlarang sebab shighat.
1. Jual-beli mua’thah, yaitu jual-beli yang telah disepakati oleh pihak aqad, berkenan dengan barang maupun harganya, tetapi tidak memakai ijab-qabul.
2. Jual-beli melalui surat atau utusan
3. Jual-beli dengan isyarat atau dengan tulisan
4. Jual-beli barang yang tidak ada di tempat aqad
5. Jual-beli tidak bersesuaian antara ijab dan qabul
6. Jual-beli munjidz, yaitu yang dikaitkan dengan suatu syarat atau ditangguhkan pada waktu yang akan datang.
c. Terlarang sebab ma’qud ‘alaih
1. Jual-beli benda yang tidak ada atau dikhawatirkan tidak ada
2. Jual-beli barang yang tidak dapat diserahkan
3. Jual-beli gharar
4. Jual-beli barang najis dan yang terkena najis
5. Jual-beli air
6. Jual-beli barang yang tidak jelas (majhul).
7. Jual-beli barang yang tidak ada di tempat aqad (ghaib), tidak dapat dilihat
8. Jual-beli sesuatu sebelum dipegang
9. Jual-beli buah-buahan atau tumbuhan yang tidak jelas.
d. Terlarang sebab syara’
1. Jual-beli riba
2. Jual-beli dengan uang dari barang yang diharamkan
3. Jual-beli barang dari hasil pencegatan barang
4. Jual-beli waktu adzan Jum’at
5. Jual-beli anggur untuk dijadikan khamar
6. Jual-beli induk tanpa anaknya yang masih kecil (untuk hewan)
7. Jual-beli barang yang sedang dibeli oleh orang lain

Selengkapnya...

Maal (Harta) Syariah

Al-Maal (Harta)

A. Pengertian
Secara etimologi, harta adalah sesuatu yang dibutuhkan dan diperoleh manusia, baik berupa benda yang tampak seperti seperti emas, perak, binatang, tumbuh-tumbuhan, maupun yang tidak tampak (yakni manfa’at) seperti seperti kendaraan, pakaian, dan tempat tingggal.
Sesuatu yang tidak dikuasai manusia tidak bias dinamakan harta menurut bahasa, seperti burung di udara, ikan di dalam air, pohon di hutan, dan barang tambang yang ada di bumi.
Harta, yang dalam bahasa Arab disebut al-Mal mempunyai arti condong, cenderung dan miring. Manusia cenderung ingin memiliki dan menguasai harta.
Adapun harta menurut istilah ahli fiqih terbagi dalam dua pendapat:



1. Menurut Ulama Hanafiyah
Golongan ini berpendapat bahwa harta adalah segala sesuatu yang dapat diambil, disimpan, dan dapat dimanfaatkan.
Menurut definisi ini, harta memiliki dua unsur, yaitu:

 Harta dapat dikuasai dan dipelihara
Sesuatu yang tidak disimpan atau dipelihara secara nyata, seperti ilmu, kesehatan, kemuliaan, kecerdasan, udara, panas matahari, cahaya bulan, tidak dapat dikatakan harta.

 Dapat dimanfaatkan menurut kebiasaan.
Segala sesuatu yang tidak bermanfaat seperti daging bangkai, makanan yang basi, tidak dapat disebut harta, atau bermanfaat, tetapi menurut kebiasaan tidak diperhitungkan manusia, seperti satu biji gandum, setetes air, segenggam tanah, dan lain-lain. Semua itu tidak disebut harta sebab terlalu sedikit sehingga zatnya tidak dapat dimanfaatkan, kecuali kalau disatukan dengan sesuatu yang lain.

2. Menurut Jumhur Ulama Fiqih Selain Hanafiyah

Menurut mereka, harta adalah sesuatu yang mempunyai nilai dan dapat dikenakan ganti rugi bagi orang yang merusak atau melenyapkannya.
Salah satu perbedaan dari definisi yang dikemukakan oleh ulama Hanafiyah dan jumhur ulama adalah tentang benda yang tidak dapat diraba, seperti manfaat. Ulama Hanafiyah memandang bahwa manfaat termasuk sesuatu yang dapat dimiliki, tetapi bukan harta. Adapun menurut ulama selain hanafiyah, manfaat termasuk harta sebab yang penting adalah manfaatnya dan bukan zatnya. Pendapat ini lebih banyak dipeganng di kalangan masyarakat (umum).
Jadi, perbedaan esensi harta antara ulama Hanafiyah dan Jumhur:

1. Bagi jumhur ulama harta tidak saja bersifat materi, namun juga nilai manfaat yang terkandung di dalamnya.

2. Adapun menurut ulama mazhab Hanafi harta hanya menyangkut materi, sedangkan manfaat termasuk ke dalam pengertian hak milik. (Meskipun demikian ada sebagian dari pengikut mazhab ini mengikuti pendapat Jumhur).

B. Pembagian Harta dan Akibat Hukumnya

Ulama fiqih membagi harta menjadi beberapa bagian yang setiap bagiannya berdampak atau berkaitan dengan beragam hukum, di antaranya:

1. Berdasarkan Kebolehan Memanfaatkan

Harta Muttaqawwim berarti segala sesuatu yang dapat dikuasai dengan pekerjaan dan dibolehkan syara’ untuk memanfaatkannya, seperti macam-macam benda yang tidak bergerak, yang bergerak, dan lain-lain. (Halal untuk dimanfaatkan).

Harta Ghair Muttaqawwim, yang berarti sesuatu yang tidak dapat dikuasai dengan pekerjaan dan dilarang syara’ untuk memanfaatkannya, kecuali dalam keadaan mudharat, seperti khamar. (Tidak halal untuk dimanfaatkan/tidak dianggap sebagai harta).

Implikasi dari keduanya:

 Tidak dibolehkannya umat Islam menjadikan harta Ghairu Muttaqawwim sebagai objek transaksi.

 Bebasnya umat Islam dari tuntutan ganti rugi apabila mereka merusak atau melenyapkan harta Ghairu Muttaqawwim.

Menurut ulama Hanafiyah, keduanya dipandang sebagai harta Muttaqawwim oleh non-muslim (kafir Dzimmi/kafir yang tidak mengganggu ketenteraman umat Islam setempat). Oleh karena itu, oleh karena itu umat Islam yang merusaknya harus bertanggung jawab. Adapun menurut jumhur, harta Ghair Muttaqawwim tetap dipandang Muttaqawwim, sebab umat non-muslim yang berada di negara Islam harus mengikuti peraturan yang diikuti oleh umat Islam. Dengan demikian, umat Islam tidak perlu bertanggung jawab jika merusaknya.

Faedah Pembagian:
a. Sah dan Tidaknya Akad
Harta Muttaqawwim sah dijadikan akad dalam berbagai aktivitas mu’amalah , seperti hibah, pinjam-meminjam, dan lain-lain. Sedangkan harta Ghair Muttaqawwim tidak sah dijadikan akad dalam bermu’amalah. Penjualan khamar, babi, dan sejenisnya yang diharamkan apabila dilakukan oleh umat Isalam maka hukumnya adalah batal.Adapun pembelian sesuatu dengan barang-barang haram adalah fasid (rusak). Demikianlah pendapat yang dikemukakan oleh ulama Hanafiyah.

b. Tanggung Jawab Ketika Rusak
Jika seseorang merusak harta Muttaqawwim, ia bertanggung jawab untuk menggantinya. Akan tetapi jika ia merusak harta Ghair Muttaqawwim, ia tidak bertanggung jawab. Menurut ulama Hanafiyah, dalam hal merusak Ghair Muttaqawwim, ia tetap bertanggung jawab sebab harta tersebut dipandang Muttaqawwim oleh non-muslim. Adapun selain Hanfiyah berpendapat bahwa, harta Ghair Muttaqawwim tetap dipandang Muttaqawwim sebab umat non-muslim yang berada di negara Islam harus mengikuti peraturan yang diikuti oleh umat Islam.

2. Berdasarkan Jenisnya

 Manqul
 ‘Aqar

a. Menurut ulama Hanafiyah dan Hanbaliyah:

 Manqul, berarti harta yang dapat dipindahkan dan diubah dari tempat yang satu ke tempat yang lain, baik tetap pada bentuk dan keadaan semula, ataupun berubah bentuk dan keadaannya disebabkan karena perpindahan dan perubahan tersebut. Hal ini mencakup uang, barang dagangan, macam-macam hewan yang halal diperjual-belikan, benda-benda yang ditimbang dan diukur.

 ‘Aqar, yang artinya adalah harta tetap, yang tidak mungkin diubah dan dipindahkan dari satu tempat ke tempat yang lainnya, seperti rumah, dan barang-barang lain yang telah membumi.

Menurut ulama Hanafiyah, bangunan dan tanaman tidaklah termasuk ‘aqar, kecuali kalau keduanya menyatu dengan bumi (tanah). Dengan demikian, jika menjual tanah yang di atasnya ada bangunan atau tanaman, maka bangunan dan tanaman serta benda-benda lain yang ikut menempel di tanah tersebut dihukumi ‘aqar. Sebaliknya, apabila hanya menjual bangunan atau tanamannya saja, maka tidak dihukumi ‘aqar, sebab ‘aqar menurut ulama Hanafiyah hanyalah tanah (bumi), sedangkan selain itu adalah harta manqul.

b. Menurut ulama malikiyah

Ulama Malikiyah menyempitkan cakupan manqul memperluas pengertian ‘aqar, yaitu:
 Manqul, adalah harta yang dapat dipindahkan dan diubah dari satu tempat ke tempat yang lain, dengan tidak berubah bentuk dan keadaannya seperti pakaian, buku, dan sebagainya.

 ‘Aqar, adalah harta yang tidak dapat dipindahkan dan diubah dari asalnya, seperti tanah, atau mungkin dapat dipindahkan dan diubah dan terjadi perubahan pada bentuk dan keadaannya ketika dipindahkan, seperti rumah dan pohon (tanaman). Rumah setelah diruntuhkan berubah menjadi rusak, dan pohon berubah menjadi kayu.

Faedah Pembagian:

a. Menurut ulama hanafiyah, tidak sah wakaf kecuali pada harta ‘aqar atau sesuatu yang ikut pada harta ‘aqar. Sebaliknya jumhur ulama berpendapat bahwa harta ‘aqar dan anqul dapat di wakafkan.

b. Imam Abu Hanifah dan Abu Yusuf, dengan menyalahi ulama fikih lainnya, berpendapat dibolehkan menjual ‘aqar yang belum diterima atau dipegang oleh pembeli pertama, sedangkan maqul dilarang menjualnya sebelum dipegang atau diserahkan kepada pembeli.

3. Berdasarkan Ada dan Tidaknya Di Pasaran

 Harta al-Mitsli, adalah harta yang memiliki persamaan dan kesetaraan di pasar, tidak ada perbedaan pada bagian-bagiannya atau kesatuannya, yaitu perbedaan dan kekurangan yang biasa terjadi dalam aktivitas ekonomi.
Harta al-Mitsli terbagi atas empat bagian, yaitu:
a. harta yang ditakar, seperti gandum,
b. harta yang ditimbang, seperti kapas dan besi,
c. harta yang dihitung, seperti telur, dan
d. harta yang dijual dengan satuan meter, seperti pakaian dan lain-lain.

 Harta al-Qimi, adalah harta yang tidak mempunyai persamaan di pasar, atau mempunyai persamaan tetapi ada perbedaan menurut kebiasaan pada satuannya dalam hal kualitas, seperti satuan pepohonan, logam mulia, binatang, atau peralatan rumah tangga.

Faedah Pembagian:

a. Pada harta al-qimi tidak mungkin terjadi riba, karena jenis satuannya tidak sama, namun pada harta al-mitsli bisa berlaku transaksi yang menjurus pada riba.

b. Dalam suatu perserikatan harta yang bersifat al-misli, seorang mitra serikat boleh mengambil bagiannya ketika mitra dagangnya sedang tidak di tempat. Akan tetapi pada harta yang bersifat al-qimi, masing-masing pihak tidak boleh mengambil bagiannya selama pihak lainnya tidak berada di tempat.

c. Apabila harta yang bersifat al-misli dirusak seseorang dengan sengaja, maka wajib diganti dengan harta sejenis, namun apabila pengrusakan dengan sengaja terhadap harta yang bersifat al-qimi harus diganti dengan memperhitungkan nilainya


4. Berdasarkan Segi Pemanfaatannya

 Harta Istihlaki, adalah harta yang dapat diambil manfaatnya dengan merusak zatnya. Misalnya makanan, minuman, kayu baker, sabun, dan lain-lain.

 Harta Isti’mali, adalah harta yang dapat diambil manfaatnya dengan tanpa merusak zatnya (zatnya tetap). Harta ini bisa kita contohkan dengan rumah, tempat tidur, pakaian, buku, dan lain sebagainya.

5. Berdasarkan Status Harta

 Harta al-Mamluk, adalah harta yang telah dimiliki, baik secara pribadi maupun badan hokum.

 Harta al-Mubah, adalah harta yang tidak dimiliki seseorang, seperti hewan buruan, kayu di hutan beserta buah-buahannya, dan lain-lain.

 Harta al-Mahjur, adalah harta yang dilarang syara’ untuk memilikinya, baik karena harta itu harta wakaf maupun harta untuk kepentingan umum.

Faedah Pembagian:

a. Harta yang boleh didaya gunakan (tasharuf) oleh seseorang adalah harta al-mamluk.

b. Tiap-tiap manusia boleh memiliki harta al-mubah sesuai kemampuan dan usahanya yang dibenarkan oleh syara’. Dengan demikian, maka harta tersebut akan menjadi miliknya, seperti orang yang menghidupkan atau memakmurkan tanah yang tidak ada pemiliknya. Hal ini telah dibenarkan oleh syara’.

6. Berdasarkan Bisa Dibagi Atau Tidaknya
 Harta yang dapat dibagi, yaitu harta yang tidak menimbulkan suatu kerugian atau kerusakan apabila harta tersebut dibagi-bagikan, seperti beras, tepung, dan lain-lain.

 Harta yang tidak dapat dibagi-bagi, yaitu harta yang menimbulkan kerugian atau kerugian apabila dibagi-bagi, seperti piring, mesin, dan lain-lain.

7. Berdasarkan Bentuk dan Nilainya

 Harta ‘Ain, yaitu harta yang berbentuk benda, seperti meja, kursi, kendaraan, dll.
Harta ‘Ain ini terbagi dua:
a. Harta ‘ain dzati qimmah, adalah benda yang memiliki bentuk dan nilai, yang meliputi:
 benda yang dianggap harta yang boleh diambil manfaatnya atau tidak;
 benda yang dianggap harta yang ada atau tidak ada sebangsanya;
 benda yang dianggap harta yang dapat atau tidak dapat bergerak.

b. Harta ghair dzati qimmah, adalah benda yang tidak dapat dipandang sebagai harta, karena tidak memiliki nilai atau harga, seperti sebutir beras.
 Harta Dain, yaitu sesuatu yang berada dalam tanggung jawab.
Menurut ulama Hanafiyah, harta tidak dapat dibagi menjadi dua bentuk tersebut, sebab harta –sebagaimana telah disebutkan- haruslah sesuatu yang berwujud atau berbentuk. Utang menurut ulama Hanafiyah tidaklah termasuk harta, tetapi bagian dari tanggung jawab.

8. Berdasarkan Berkembang Atau Tidaknya

 Harta Pokok (al-Mal al-Ashl), adalah harta yang menyebabkan adanya harta yang lain

 Harta Hasil (Tsamaroh), yaitu harta yang terjadi dari harta yang lain.
Di antara contoh harta pokok adalah sapi, dan harta hasil adalah susu atau daging. Harta pokok ini dapat disebut modal.

Implikasi Hukumnya:
a. Pokok harta wakaf tidak bisa dibagi-bagikan kepada yang berhak menerima wakaf, tetapi buah atau hasil darinya dapat dibagikan kepada mereka.

b. Harta yang diperuntukkan bagi kepentingan umum asalnya tidak bisa dibagi-bagikan, tetapi hasilnya bisa dimiliki siapapun.

c. Dalam suatu transaksi yang objeknya manfaat benda, maka pemilik manfaat itu berhak atas hasilnya. Misalnya, apabila seseorang menyewa sebuah rumah yang secara kebetulan di pekarangan rumahnya tersebut ada pohon yang sedang berbuah, maka buah tersebut menjadi milik penyewa rumah dan ia boleh memperjual-belikannya kepada orang lain.

9. Berdasarkan Kepemilikannya

 Harta Khas (khusus), adalah harta pribadi yang tidak bersekutu dengan harta lain. Harta ini tidak dapat diambil manfaatnya atau digunakan seenaknya kecuali atas kehendak atau seizin pemiliknya.

 Harta ‘Am (Umum), adalah harta milik umum atau bersama, semua orang boleh mengambil manfaatnya sesuai dengan ketetapan yang disepakati bersama oleh umum atau penguasa.

Selengkapnya...

About This Blog

Lorem Ipsum

Terima Kasih Atas Kunjungan Anda

  © Blogger templates Shiny by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP