03 April, 2009

Riba (Syariah)

Bunga Dan Riba
Pengertian Bunga dan Riba
Secara leksikal, bunga sebagai terjemahan dari kata interest. Secara istilah sebagaimana diungkapkan dalam suatu kamus dinyatakan, bahwa interest is a charge for a financial loan, usually a percentage of the amount loaned. Bunga adalah tanggungan pada pinjaman uang, yang biasanya dinyatakan dengan persentase dari uang yang dipinjamkan .



Dan menurut Kamus Istilah Akuntansi Syari’ah, bunga berarti tambahan biaya yang dibebankan akibat dari adanya suatu pinjaman atau utang yang besarnya ditunjukkan dengan suatu persentase dari pinjaman tersebut yang telah disepakati oleh kedua belah pihak.
Adapun pengertian riba pada hakekatnya tidaklah jauh berbeda dengan pengertian bunga di atas. Riba = ziyadah, berarti: bertumbuh, menambah atau berlebih. Al-Riba atau ar-Rima makna asalnya ialah tambah, tumbuh dan subur. Dan dalam Kamus Istilah Akuntansi Syari’ah yang dikatakan dengan riba secara bahasa adalah ziyadah: tambahan, tumbus, membesar. Dan pengertiannya menurut istilah adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam meminjam secara bathil atau bertentangan dengan prinsip muamalah dalam Islam.
Riba sering diterjemahkan orang dalam bahasa Inggris sebagai “usury” yang artinya “the act of lending money at an exorbitant or illegal rate of interest”. Sementara para ulama fiqih mendefinisikan riba dengan “kelebihan harta dalam suatu muamalah dengan tidak ada imbalan/gantinya”. Maksud dari perkataan ini adalah tambahan terhadap modal uang yang timbul akibat transaksi utang piutang yang harus terutang kepada pemilik uang pada saat utang jatuh tempo. Aktivitas semacam ini berlaku luas di kalangan masyarakat Yahudi sebelum datangnya Islam, sehingga masyarakat Arab pun sebelum dan pada masa awal Islam melakukan muamalah dengan cara tersebut.
Oleh karena itu, apabila kita menarik pelajaran sejarah masyarakat Barat, maka terlihat jelas bahwa sebenarnya interest dan usury yang kita kenal saat ini pada hakekatnya adalah sama. Keduanya berarti tambahan uang, umumnya dalam persentase.
Istilah “usury” muncul karena belum mapannya pasar keuangan pada masa itu sehingga penguasa harus menetapkan suatu tingkat bunga yang dianggap wajar. Namun setelah mapannya lembaga dan pasar keuangan, kedua istilah itu menjadi hilang karena hanya ada satu tingkat bunga di pasar sesuai dengan hukum permintaan dan penawaran.

Apakah Bunga Sama Dengan Riba?
Untuk menjawab pertanyaan ini, maka penulis merujuk kepada makalah yang pernah disampaikan oleh bapak H. Karnaen A. Perwata Atmadja. . Menurutnya ada dua pendekatan untuk memahami apakah bunga sama dengan riba, yaitu:

1. Pendekatan secara epistemology (asal usul bahasa).

a. Definisi bunga (terjemahan dari interest).
1) The American Heritage DICTIONARY of the English Language : Interest is "A charge for a financial loan, usually a precentage of the amount loaned ".
2) KAMUS EKONOMI (Inggris - Indonesia), Prof. DR. Winardi, SE.: Interest (net) - Bunga modal (netto). Pembayaran untuk penggunaan dana-dana.
Diterangkan dengan macam-macam cara seperti misalnya :
a) Balas jasa untuk pengorbanan (ber)konsumsi atas pendapatan yang dicapai (diperoleh) waktu sekarang (contoh : teori abstinense).

b) Pendapatan orang yang berbeda (mengenai) preferensi likwiditas(nya (yang menyesuaikan) terhadap harga (yang berlaku).

c) Harga yang dinilai lebih tinggi (mengatasi terhadap) masa sekarang atas masa yang akan datang (preferensi waktu).

d) Pengukuran produktifitas macam-macam investasi (efisiensi marginal modal)

e) Harga yang menyesuaikan pemintaan dan penawaran akan dana-dana yang dipinjamkan (teori dana yang dipinjamkan)

b. Definisi dari riba (terjemahan dari usury) :
1) The American Heritage DICTIONARY of the English Language :
Usury is “The act or practise of lending money at an exorbitant or ilegal rete of interest “ or “Such an excessive rate of interest”.
DR. Perry Warjiyo dalam makalahnya pernah mengatakan:
"Dari pelajaran sejarah masyarakat barat, terlihat jelas bahwa "interest" dan "usury" yang kita kenal saat ini pada hakekatnya adalah sama. Keduanya berarti tambahan uang, umumnya dalam persentase. Istilah "usury" muncul karena belum mapannya pasar keuangan pada zaman itu sehingga penguasa harus menetapkan suatu tingkat bunga yang dianggap "wajar". Namun setelah mapannya lembaga dan pasar keuangan, kedua istilah itu menjadi hilang karena hanya ada satu tingkat bunga di pasar sesuai dengan hukum permintaan dan penawaran""
(Catatan : Di Indonesia, sebelum Deregulasi 1 Juni 1983 Pemerintah menetapkan tingkat bunga bank, tetapi sesudah itu hingga sekarang suku bunga ditetapkan oleh hukum permintaan dan penawaran.)

c. Definisi riba dari bahasa Arab :
Ensiklopedi ISLAM Indonesia, Tim Penulis IAIN SYARIF HIDAYATULLAH.
Al-Riba atau Ar-Rima makna asalnya ialah tambah, tumbuh dan subur. Adapun pengertian tambah dalam konteks riba ialah tambahan uang atas modal yang diperoleh dengan cara yang tidak dibenarkan syara’, apakah tambahan itu berjumlah sedikit maupun berjumlah banyak seperti yang diisyaratkan dalam Al-Qur'an.

d. Pendekatan dari tanda-tanda dan arah yang dimaksud riba pada ayat-ayat Al Qur’an :

1) Dengan memeriksa ayat-ayat larangan riba dalam Al-Qur'an dan Hadis, dapat diketahui bahwa larangan riba hampir selalu diawali dengan kata "al" yang artinya menunjuk kepada praktek riba yang telah dilakukan dan sudah cukup dikenal pada waktu itu.

2) Bagaimana praktek riba yang dilakukan pada waktu itu dapat diikuti hasil penelitian Anwar Iqbal Quresi, dalam bukunya sebagai berikut:
a) Seseorang menjual sesuatu kepada orang lain dengan perjanjian bahwa pembayarannya akan dilakukan pada suatu tanggal yang telah disetujui bersama. Apabila pembeli kemudian tidak dapat membayarnya pada tanggal yang telah disetujui itu, suatu "waktu lenggang" diberikan asalkan pembeli setuju untuk membayar jumlah yang lebih besar dari harga semula.

b) Seseorang meminjamkan sejumlah uang selama suatu jangka waktu tertentu dengan syarat bahwa pada saat jatuh temponya nanti si peminjam membayar "pokok modal" bersama suatu jumlah tetap "riba" atau "tambahan".

c) Si peminjam dan pemberi pinjaman setuju atas suatu tingkat "riba" tertentu selama suatu jangka waktu tertentu. Apabila setelah jangka waktu tersebut si peminjam tidak dapat melunasi hutangnya beserta jumlah tambahannya, ia kemudian diharuskan membayar suatu tingkat kenaikan "riba" sebagai tambahan "waktu lenggang".

e. Pendekatan dari Hadits Rasulullah SAW:
Rasulullah melarang mengambil hadiah, jasa atau pertolongan sekecil apapun sebagai syarat atas suatu pinjaman. Tambahan yang tidak sama dengan praktek yang ditunjukkan tersebut diatas tidak termasuk riba yang diharamkan, sebagaimana dicontohkan dalam sebuah Hadist :
Dari Abu Rafi’ r.a., katanya Rasulullah SAW pernah meminjam unta muda usia kepada seseorang. Setelah itu, ada orang mengantarkan unta sedekah kepada beliau. Lalu Nabi SAW menyuruh Abu Rafi’ membayar unta muda yang dipinjamnya. Abu Rafi’ mengatakan kepada beliau : “Ya Rasulullah, belum ada unta muda, yang ada hanyalah unta pilihan yang telah dewasa. “Sabda beliau : “Berikanlah itu ! Sebaik-baik manusia, ialah yang mengutamakan pelunasan suatu hutang”.
Dari Hadist tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa sesuatu tambahan tidak termasuk riba apabila :
1. Tambahan itu tidak disyaratkan dimuka atau tidak dijanjikan terlebih dahulu,
2. Tambahan itu inisiatifnya datang dari peminjam,
3. Inisiatif memberikan tambahan itu timbul pada waktu jatuh tempo.
2. Pendekatan proses pembungaan uang dan akibatnya

Adapun pembahasan mengenai masalah ini, maka alangkah lebih baiknya kalau kita melihat langsung makalah yang penulis maksud di awal tadi. Hal ini mengingat penjelasannya dalam bentuk gambar dan diagram.
Riba Dalam Perspektif Agama

1. Non-Muslim
Riba bukan hanya merupakan persoalan masyarakat Islam, tetapi berbagai kalangan di luar Islam juga serius dalam memandang persoalan ini. Karena itu, kajian mengenai riba ini dapat dirunut mundur hingga lebih dari 200 tahun silam. Masalah riba telah menjadi bahan pembahasan kalangan Yahudi, Yunani, demikian juga Romawi Kalangan Kristen dari masa ke masa juga mempunyai pandangan tersendiri mengenai riba.
• Konsep bunga di kalangan Yahudi
Orang-orang Yahudi dilarang mempraktekkan pengambilan bunga. Pelarangan ini banyak terdapat dalam kitab suci mereka, baik dalam Old Testament (Perjanjian Lama) maupun Undang-Undang Talmud.
Kitab Exodus (Keluaran) pasal 22 ayat 25 menyatakan:
“Jika engkau meminjamkan uang kepada salah seorang umatku, orang yang miskin di antara kamu, maka janganlah engkau berlaku sebagai penagih hutang terhadap dia, janganlah engkau bebankan bunga terhadapnya”.
Kitab Deutoronomy (Ulangan) pasal 23 ayat 19 menyatakan:
“Janganlah engkau membungakan kepada saudaramu, baik uang maupun bahan makanan, atau apapun yang dapat dibungakan” .


• Konsep bunga di kalangan Yunani dan Romawi
Pada masa Yunani, sekitar abad VI SM hingga 1 M, telah terdapat beberapa jenis bunga. Besarnya bunga tersebut bervariasi tergantung kegunaannya. Secara umum, nilai bunga tersebut dikategorikan sebagai berikut:
Pinjaman Biasa 6% - 18%
Pinjaman Property 6% - 12%
Pinjaman Antar Kota 7% - 12%
Pinjaman Perdagangan dan Industri 12% - 18%
Pada masa Romawi, sekitar abad V SM – IV M, terdapat UU yang membenarkan penduduknya mengambil selama tingkat bunga tersebut sesuai dengan tingkat maksimal yang dibenarkan hukum (maximum legal rate).
Nilai suku ini berubah-ubah dari waktu ke waktu. Meskipun UU membenarkan pengambilan bunga, tetapi pengambilannya tidak dibenarkan dengan cara bunga berbunga (double countable).
Pada masa pemerintahan Genucia (342 SM), kegiatan pengambilan bunga tidak diperbolehkan. Tetapi pada masa Unciaria (88 SM), praktek tersebut diperbolehkan kembali seperti semula.
Meskipun demikian, praktek pengambilan bunga dicela oleh para ahli filsafat. Dua orang ahli filsafat Yunani terkemuka, Plato (427-347 SM) dan Aristoteles (384-322 SM) mengecam praktek bunga. Begitu juga dengan Cato (234-149 SM) dan Cicero (106-43 SM) para ahli filsafat mengutuk orang-orang Romawi yang mempraktekkan pengambilan bunga.
• Konsep bunga di kalangan Kristen
Kitab Perjanjian Baru tidak menyebutkan permasalahan ini secara jelas. Namun sebagian kalangan Kristiani menganggap bahwa ayat yang terdapat dalam Lukas 6 ; 34-5 sebagai ayat yang mengecam praktek pengambilan bunga. Ayat tersebut mengatakan:
“Dan jikalau kamu meminjamkan sesuatu kepada orang, karena kamu berharap akan menerima sesuatu dari padanya, apakah jasamu? Orang-orang berdosa pun meminjamkan kepada orang yang berdosa, supaya mereka menerima kembali sama banyak. Tetapi kasihilah musuhmu dan berbuatlah baik kepada mereka dan pinjamkan dengan tidak mengharafkan balasan, maka upahmu akan besar dan kamu akan menjadi anak-anak Tuhan Yang Maha Tinggi, sebab ia baik terhadap orang-orang yang tidak tahu berterima kasih dan terhadap orang-orang jahat”.
Ketidaktegasan ayat tersebut mengakibatkan munculnya berbagai tanggapan dan tafsiran dari para pemuka agama Kristen tentang boleh atau tidaknya orang Kristen mempraktekkan pengambilan bunga. Berbagai pandangan di kalangan agama Kristen dapat dikelompokkan menjadi tiga periode utama, yaitu pandangan para pendeta awal Kristen (abad I- XII), yang mengharamkan bunga, pandangan para sarjana kristen (abad XII- XVI) yang berkeinginan agar bunga diperbolehkan, dan pandangan para reformis Kristen (abad XVI- tahun 1836) yang menyebabkan agama Kristen menghalalkan bunga.

2. Islam
Dalam agama Islam, terdapat beberapa dalil Al-Qur’an yang melarang sistem riba. Namun demikian, Allah SWT menurunkan risalah larangan praktek riba dengan menggunakan empat tahapan, yakni:

1. Allah memberikan pengertian bahwa riba tidak akan menambah kebaikan di sisi-Nya. Allah berfirman:

“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, Maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, Maka (yang berbuat demikian) Itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya). (QS. Ar-Ruum : 39)

2. Allah memberikan gambaran siksa bagi Yahudi dengan salah satu karakternya, yaitu suka makan riba. Allah SWT berfirman:
Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, kami haramkan atas (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan Karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah,
Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal Sesungguhnya mereka Telah dilarang daripadanya, dan Karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. kami Telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.
(QS. An-Nisa’ : 160-161)

3. Allah SWT telah melarang memakan riba yang berlipat ganda. Allah SWT berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. (QS. Ali Imron : 130)

4. Allah SWT melarang dengan keras dan tegas semua jenis riba. Allah SWT berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman..
Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka Ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya”.
(QS. Albaqarah :278-279).

Untuk memperjelas bahwa riba itu dilarang dan bahkan diharamkan, terdapat beberapa hadist yang menyatakan hal tersebut:
1. Rasulullah SAW bersabda:
“Riba itu mempunyai 37 tingkatan, yang paling rendah (dosanya) sama dengan seseorang melakukan zina dengan ibunya”. (Muttafaqun ‘alaihi)
2. Diriwayatkan oleh Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Tuhan sesungguhnya berlaku adil karena tidak membenarkan empat golongan memasuki surga atau tidak mendapat petunjuk, yakni peminum arak, pemakan harta anak yatim, dan mereka yang menelantarkan ibu/bapaknya”. (Muttafaqun ‘alaihi)
3. Dari Ibnu Abbas dari Nabi SAW, beliau bersabda:
“Jika telah muncul wabah zina dan riba di suatu negeri, maka berarti mereka telah siapmenanti kedatangan azab dari Allah”. (Muttafaqun ‘alaihi)

Jenis-jenis Riba

Secara garis besar riba dikelompokkan menjadi dua. Masing-masing adalah riba utang piutang dan riba jual-beli. Kelompok pertama trbagi klagi menjadi riba qardh dan riba jahiliyah. Sedangkan kelompok kedua, riba jual-beli terbagi lagi menjadi riba fadhl dan riba nasi’ah. Ibnu Hajar menjelaskan pembagian riba tersebut serta hukumnya dengan mengatakan,”Bahwa riba itu terdiri dari tiga jenis yaitu, yaitu riba fadli, riba riba al-yaad dan riba nasi’ah. Al-Mutawali menambahkan jenis ke empat, yaitu riba al-qardh. Beliau juga mengatakan bahwa semua jenis ini diharamkan secara ijma’ berdasarkan nash Al-Qur’an dan hadist Nabi”, (az-Zawajir, II/205). Adapun barang-barang yang diklasifikasikan ke dalam jenis barang yang dapat di gunakan dalam praktek riba yaitu” a) emas dan perak, baik dalam bentuk mata uang ataupun lainnya, b) bahan makanan pokok seperti beras, gandum, dan sebagainya .
Ketetapan Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (MUI)
Dewan Syariah Nasional, Majelis Ulama Indonesia telah mengeluarkan fatwa Nomor 01/DSN-MUI/IV/2000 tentang Giro, Nomor 02/DSN-MUI/IV/ 2000 tentang Tabungan, dan Nomor 03/DSN-MUI/IV/2000 tentang Deposito, yang menetapkan bahwa Giro, Tabungan, dan Deposito tidak dibenarkan secara syariah apabila berdasarkan perhitungan bunga. Sedangkan Giro, Tabungan, dan Deposito yang dibenarkan secara syariah ialah yang didasarkan prinsip mudharabah dan/atau wadiah .
Keputusan Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia tentang Fatwa Bunga (Interest/Fa-idah) tanggal 22 Syawal 1424 atau 16 Desember 2003, antara lain : Praktek pembungaan uang saat ini telah memenuhi kriteria riba yang terjadi pada zaman Rasulullah SAW, yakni riba nasi’ah. Dengan demikian praktek pembungaan uang ini termasuk salah satu bentuk riba, dan haram hukumnya. Praktek pembungaan uang ini banyak dilakukan oleh Bank, Asuransi, Pasar Modal, Pegadaian, Koperasi, dan Lembaga Keuangan lainnya termasuk juga oleh individu.
Pertimbangan dari Majelis Ulama Indonesia untuk mengeluarkan fatwa bahwa bunga bank adalah haram, merupakan suatu proses yang cukup panjang. Banyak hal yang dipertimbangkan dari cara pengambilan keputusan tersebut, tidak terkecuali tentang kesiapan infrastruktur yang ada jika nantinya bunga bank telah diharamkan, juga mengenai mudharat dan maslahahnya.
Jadi, Bunga Bank = Riba?
Jawaban terhadap persoalan sub pokok bahasan ini, akan lebih rinci apabila dikembalikan kepada pandangan tentang adanya kesamaan antara praktek bunga dengan riba yang diharamkan dalam Al-Qur’an dan Hadits. Kesamaan ini sulit dibantah, apalagi secara nyata aplikasi sistem bunga pada perbankan lebih banyak dirasakan mudharatnya dari pada manfaatnya. Kemudharatan sistem bunga sehingga dikategorikan sebagai riba, karena ada unsur yang dilarang menurut agama atau menyebabkan kesengsaraan secara ekonomi bagi pihak yang melakukan peminjaman dengan bunga.
Kesimpulan
Persoalan riba telah ada sejak orang mulai berbicara tentang hubungan perdagangan dan keuangan. Riba adalah tambahan yang dilakukan secara bathil, sangat mempengaruhi pelakunya dalam sisi ekonomi maupun sosial. Secara ekonomi, riba dapat menimbulkan inflasi ekonomi, sebagai akibat dari bunga sebagai biaya uang. Hal tersebut disebabkan karena salah satu elemen dari penentuan harga adalah suku bunga. Semakin tinggi suku bunga, semakin tinggi juga harga yang akan ditetapkan pada suatu barang. Dampak lainnya adalah bahwa hutang, dengan rendahnya tingkat penerimaan peminjam dan tingginya biaya bunga, akan menjadikan peminjam tidak pernah keluar dari ketergantungan, terlebih lagi bila bunga atas hutang tersebut dibungakan.
Dari sisi kemasyarakatan (sosial), riba merupakan pendapatan yang didapat secara tidak adil (bathil). Para pengambil riba menggunakan uangnya untuk memerintahkan orang lain agar berusaha dan mengembalikan misalnya 25% lebih dari jumlah yang dipinjamkannya. Persoalannya, siapa yang bisa menjamin bahwa usaha yang dijalankan oleh orang itu nantinya akan mendapatkan keuntungan lebih dari 25%.
Semua orang tahu, bahwa siapapun tidak bisa memastikan apa yang terjadi esok atau lusa. Siapapun tahu, bahwa berusaha memiliki dua kemungkinan, yaitu berhasil atau gagal. Dengan menetapkan riba, berarti orang sudah memastikan bahwa usahanya pasti berhasil (untung).


DAFTAR PUSTAKA
Buku-buku:
Utomo, Setiawan Budi, 2003, Fiqih Aktual Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer, Jakarta: Gema Insani Press

Rahmawan, A Ivan, 2005, Kamus Istilah Akuntansi Syari’ah, Yogyakarta: Pilar Media

Adityangga, Krishna, 2006, Membumikan Ekonomi Islam, Yogyakarta: Pilar Media

Muhamad, 2002, Manajemen Bank Syari’ah, Yogyakarta: UPP AMP YKPN


Artikel:

Perwataatmaja, Karnaen A, Sekitar Kontroversi Bunga Bank dan Riba

No comments:

Post a Comment

Kekurangan dan kesalahan mohon dimaafkan.Kritik dan Saran sangat saya Harapkan

About This Blog

Lorem Ipsum

Terima Kasih Atas Kunjungan Anda

  © Blogger templates Shiny by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP